Saturday 16 January 2016

Sunnah dan Bid'ah Karya Dr. Yusuf Qardhawi...^^..

Sunnah dan Bid'ah Karya Dr. Yusuf Qardhawi...^^..
PENDAHULUAN...
Segala puji bagi Allah, kami melantunkan puja-puji, meminta
pertolongan dan memohon ampunan kepadaNya. Kami berlindung
kepada Allah SWT dari kejahatan diri kami dan keburukan amal
perbuatan kami. Siapa yang diberikan petunjuk oleh Allah SWT
maka tidak ada yang dapat menyesatkannya, dan siapa yang
disesatkan oleh Allah SWT, maka tidak ada yang dapat
memberinya petunjuk. Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain
Allah yang tidak ada sekutu bagiNya, dan aku bersaksi bahwa
Muhammad adalah hamba dan rasulNya. Shalawat dan salam
atasnya, keluarganya, sahabatnya, dan mereka yang melanjutkan
dakwahnya, memegang sunnahnya, dan memperjuangkan agamanya,
hingga hari kiamat.
Salam hormat yang paling baik, yang aku ucapkan kepada kalian
adalah salam Islam, yaitu as salamu'alaikum wa rahmatullahi wa
barakatuh. Pembahasan kita pada kesempatan ini adalah seputar
permasalahan sunnah dan bid'ah. Hal ini berkaitan dengan
sebuah artikel yang diterbitkan oleh sebuah majalah yang
diterbitkan di negara kita ini.[1] Artikel itu menyandang
judul yang amat nyeleneh, yaitu " Istinkaarul-Bid'ah wa
Kuraahatul-Jadiid, Mauqifun Islami am jahili ?" Artinya,
" Mengingkari Bid'ah dan Membenci Hal yang Baru, Apakah Sikap
Islami ataukah Sikap Jahiliah ?" Di situ, si penulis artikel
ingin menyampaikan pesan bahwa mengingkari bid'ah adalah suatu
sikap jahiliah. Menurutnya, kita tidak boleh mengingkari
bid'ah dan harus membiarkan manusia menciptakan apa pun yang
dikehendaki oleh inspirasi mereka atau oleh setan mereka, baik
setan yang berbentuk manusia maupun jin.
Oleh karena itu, kami ingin mengembalikan masalah ini kepada
pokok yang sebenarnya dan kita perlu meredefinisikan
(mendefiniskan ulang) pemahaman-pemahaman kita tentang masalah
ini karena masalah ini sangat penting. Membiarkan suatu
pemahaman tanpa pendefinisian yang jelas akan membuat suatu
masalah menjadi seperti karet yang dapat ditarik ulur dan
kembali pada keadaan semula, serta membuat setiap orang dapat
menafsirkannya sekehendak hatinya. Ini tentunya amat
berbahaya.
Karena itulah, kita harus mengetahui makna sunnah yang
sebenarnya, juga makna bid'ah, dan apa sikap Islam terhadap
bid'ah itu ? Mengapa Islam mengingkari bid'ah ? Dan, apakah
mengingkari bid'ah berarti bid'ah hal yang baru, apa pun
bentuk hal yang baru itu ? Dengan penjelasan seperti itu,
diharapkan kita dapat mengetahui sikap yang benar tentang
masalah ini dan hakikat kebenaran dapat diketahui dengan baik
serta ketidakjelasan dapat disibakkan. Sehingga, orang yang
kemudian binasa adalah karena kesengajaannya semata setelah
melihat fakta yang sebenarnya, dan orang yang hidup bahagia
adalah orang yang memilih jalan kebenaran setelah melihat
kebenaran itu.

MAKNA SUNNAH SECARA ETIMOLOGIS DAN TERMINOLOGIS[2]
Sunnah secara etimologis bermakna 'perilaku atau cara
berperilaku yang dilakukan, baik cara yang terpuji maupun yang
tercela. Ada sunnah yang baik dan ada sunnah yang buruk,
seperti yang diungkapkan oleh hadits sahih yang diriwayatkan
oleh Muslim dan lainnya, " Barangsiapa membiasakan (memulai
atau menghidupkan) suatu perbuatan baik dalam Islam, dia akan
mendapatkan pahala dari perbuatannya itu dan pahala dari
perbuatan orang yang mengikuti kebiasaan baik itu setelahnya
dengan pahala yang sama sekali tidak lebih kecil dari pahala
orang-orang yang mengikuti melakukan perbuatan baik itu.
Sementara, barangsiapa yang membiasakan suatu perbuatan buruk
dalam Islam, ia akan mendapatkan dosa atas perbuatannya itu
dan dosa dari perbuatan orang yang melakukan keburukan yang
sama setelahnya dengan dosa yang sama sekali tidak lebih kecil
dari dosa-dosa yang ditimpakan bagi orang-orang yang mengikuti
perbuatannya itu."[3]

Kata " sunnah" yang dipergunakan oleh hadits tadi adalah kata
sunnah dengan pengertian etimologis. Maksudnya, siapa yang
membuat perilaku tertentu dalam kebaikan atau kejahatan. Atau,
siapa yang membuat kebiasaan yang baik dan yang membuat
kebiasaan yang buruk. Orang yang membuat kebiasaan yang baik
akan mendapatkan pahala dari perbuatannya itu dan dari
perbuatan orang yang mengikuti perbuatannya, dan orang yang
membuat kebiasaan yang buruk maka ia akan mendapatkan dosa
dari perbuatannya itu dan dari perbuatan orang-orang yang
mengikutinya hingga hari kiamat. Adapun dalam pengertian
syariat, kata sunnah mempunyai pengertian tersendiri atau
malah lebih dari satu pengertian.
Banyak kata yang mempunyai makna etimologis yang kemudian
diberikan makna-makna baru oleh syariat. Seperti kata
thaharah, secara etimologis, ia bermakna 'kebersihan',
sedangkan dalam pengertian terminologis yang diberikan oleh
syariat, ia bermakna 'menghilangkan hadats atau menghilangkan
najis, dan sejenisnya'. Demikian juga halnya dengan kata
shalat, secara etimologis ia bermakna 'doa', sedangkan dalam
pengertian terminologis yang diberikan oleh syariat ia
bermakna 'ucapan-ucapan dan perbuatan-perbuatan tertentu yang
diawali dengan takbiratul ihram dan diakhiri dengan salam'.
Demikian juga halnya dengan kata sunnah, ia mempunyai
pengertian etimologis dan pengertian terminologis syariat.
Pada hakikatnya, dalam terminologi syariat, sunnah mempunyai
lebih dari satu makna. Kata sunnah dalam pengertian
terminologis fuqaha adalah 'salah satu hukum syariat' atau
antonim dari fardhu dan wajib. Ia bermakna sesuatu yang
dianjurkan dan didorong untuk dikerjakan. Ia adalah sesuatu
yang diperintahkan oleh syariat agar dikerjakan, namun dengan
perintah yang tidak kuat dan tidak pasti. Sehingga, orang yang
mengerjakannya akan mendapatkan pahala, dan orang yang tidak
mengerjakannya tidak mendapatkan dosa kecuali jika orang itu
menolaknya dan sebagainya. Dalam pengertian ini, dapat
dikatakan bahwa shalat dua rakaat sebelum shalat shubuh adalah
sunnah, sementara shalat shubuh itu sendiri adalah fardhu.
Menurut para ahli ushul fiqih, sunnah adalah apa yang
diriwayatkan dari Nabi saw., berupa ucapan, perbuatan, atau
persetujuan. Ia dalam pandangan ulama ushul ini, adalah salah
satu sumber dari berbagai sumber syariat. Oleh karena itu, ia
bergandengan dengan Al Qur'an. Misalnya, ada redaksi ulama
yang mengatakan tentang hukum sesuatu, masalah ini telah
ditetapkan hukumnya oleh Al Qur'an dan sunnah.
Sementara, para ahli hadits menambah definisi lain tentang
sunnah. Mereka mengatakan bahwa sunnah adalah apa yang
dinisbatkan kepada Nabi saw, berupa ucapan, perbuatan,
persetujuan, atau deskripsi (baik fisik maupun akhlak) atau
juga sirah (biografi Rasul saw.).
Ada juga makna sunnah yang lain yang menjadi perhatian para
ulama syariat, yaitu sunnah dengan pengertian antonim dari
bid'ah. Atau, apa yang disunnahkan dan disyariatkan oleh
Rasulullah saw. bagi umatnya versus apa yang dibuat-buat oleh
para pembuat bid'ah setelah masa Rasulullah saw. Pengertian
sunnah seperti inilah yang disinyalir oleh hadits riwayat
Irbadh bin Sariah, salah satu hadits dari seri empat puluh
hadits Nawawi yang terkenal itu (Hadits Arba'in, ed.),
" ... orang yang hidup setelahku nanti akan melihat banyak
perbedaan pendapat (di kalangan umat Islam). Dalam keadaan
seperti itu, hendaklah kalian berpegang pada Sunnahku dan
Sunnah Khulafaur Rasyidin yang mendapatkan petunjuk. Gigitlah
kuat-kuat dengan gigi gerahammu dan janganlah kalian mengikuti
hal-hal bid'ah, karena setiap perbuatan bid'ah adalah sesat."
[4]
Oleh karena itu, di kalangan sahabat sering ditemukan adanya
pengoposisian antara sunnah dan bid'ah. Mereka berkata bahwa
setiap kali suatu kaum membuat bid'ah maka pada saat itu pula
mereka menelantarkan sunnah dalam kuantitas yang sama. Ibnu
Mas'ud berkata, " Mencukupkan diri dengan berpegang pada
sunnah, lebih baik daripada berijtihad dalam bid'ah."
Ini adalah pengertian terakhir kata sunnah, dan ini pula
pengertian sunnah yang menjadi topik pembicaraan kami dalam
kesempatan ini. Sedangkan, pengertian-pengertian sunnah yang
lain, tidak menjadi topik pembicaraan kami ini. Kami telah
membicarakan sebagian dari sunnah dengan pengertian-pengertian
lainnya itu, misalnya kami telah membicarakan sunnah sebagai
salah satu sumber syariat, atau tentang sunnah sebagai ucapan,
perbuatan, persetujuan, sifat, dan sirah Rasulullah saw..
Namun, dalam kesempatan ini, kami hanya ingin mengkaji tentang
sunnah dengan pengertian sebagai antonim bid'ah. Atau, apa
yang disunnahkan oleh Nabi saw. bagi umatnya.
Petunjuk Nabi saw. adalah sebaik petunjuk, seperti dikatakan
oleh Umar ibnul Khaththab r.a., " Keduanya (Al Qur'an dan
sunnah) adalah kalam dan petunjuk, sebaik-baik kalam adalah
kalam Allah SWT dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk
Muhammad saw.." Umar mengutip redaksi ini dari sabda
Rasulullah saw. yang diucapkan oleh beliau dalam khotbahnya,
" Amma ba'du. Sesungguhnya sebaik-baik pembicaraan adalah
Kitab Allah, dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk
Muhammad. Seburuk-buruk perkara adalah perbuatan bid'ah, dan
setiap bid'ah adalah sesat." [5]
Nabi saw. telah memperingatkan dengan keras perbuatan bid'ah
serta memerintahkan umat Islam Untuk mengikuti Sunnah beliau
dan menjaganya. Beliau bersabda, " Aku tinggalkan kalian dalam
keutamaan dan kemuliaan (ajaran agama) yang terang-benderang,
malamnya seterang siangnya, dan tiada orang yang menyimpang
darinya kecuali ia akan binasa." [6]

MAKNA BID'AH MENURUT IMAM ASY-SYATHIBI[7]...

Kemudian, apakah makna bid'ah ? Dan, apa pengertian bid'ah
yang dinilai oleh Nabi saw. sebagai kesesatan dalam agama ?
Bid'ah, seperti yang didefinisikan oleh Imam asy Syathibi',
adalah " Cara beragama yang dibuat-buat, yang meniru syariat,
yang dimaksudkan dengan melakukan hal itu sebagai cara
berlebihan dalam beribadah kepada Allah SWT".[8] Ini merupakan
definisi bid'ah yang paling tepat, mendetail, dan mencakup
serta meliputi seluruh aspek bid'ah.

MEDAN OPERASIONAL BID'AH ADALAH AGAMA...
Dari definisi tadi dapat dipetakan bahwa medan operasional
bid'ah adalah agama. Ia adalah " Tindakan mengada-ada dalam
beragama". Dalil pernyataan ini adalah sabda Rasulullah saw.,
" Siapa yang menciptakan hal baru dalam ajaran agama kita yang
bukan bagian darinya, maka perbuatannya itu tertolak."[9]

Dalam riwayat yang lain, " Siapa yang menciptakan hal baru
dalam urusan (ajaran agama) kita, yang bukan bagian darinya,
maka perbuatannya itu tertolak." [10] Artinya, dikembalikan
kepada pelakunya, sebagaimana halnya uang palsu yang tidak
diterima untuk dijadikan sebagai alat jual-beli, dan ia
dikembalikan kepada pemiliknya. Hadits ini juga dinilai oleh
para ulama sebagai salah satu pokok agama Islam. Ia adalah
bagian dari seri empat puluh hadits Nawawi yang terkenal itu
(Hadits Arba'in).
Para ulama berkata bahwa ada dua hadits yang saling melengkapi
satu sama lain, pertama hadits yang amat penting karena ia
adalah timbangan bagi perkara yang batin, yaitu hadits,
" Sesungguhnya keabsahan segala amal ibadah ditentukan oleh
niat."[11]

Kedua, hadits yang juga amat penting karena ia adalah
timbangan bagi perkara yang zahir, yaitu makna yang dikandung
oleh hadits ini, " Siapa yang menciptakan hal baru dalam
ajaran agama kita yang bukan merupakan bagian darinya, maka
perbuatannya itu tertolak."
Agar amal ibadah seseorang diterima oleh Allah SWT, harus
dipenuhi dua hal ini,
1@ Meniatkan amal perbuatannya semata demi Allah SWT, dan
2@ Amal ibadahnya itu dilakukan sesuai dengan tuntunan
syariat.
Oleh karena itu, saat Imam al Fudhail bin Iyadh, seorang faqih
yang zaahid 'orang yang zuhud' (para zaahid generasi pertama
adalah para fuqaha), ditanya tentang firman Allah SWT,
" ... supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih
baik amalnya.... "(Surah Al Mulk:2), Amal ibadah apakah yang
paling baik ? Ia menjawab, " Yaitu amal ibadah yang paling
ikhlas dan paling benar." Ia kembali ditanya, " Wahai Abu Ali
(al Fudhail bin Iyadh), apa yang dimaksud dengan amal ibadah
yang paling ikhlas dan paling benar itu ?" Ia menjawab,
" Suatu amal ibadah, meskipun dikerjakan dengan ikhlas, namun
tidak benar maka amal itu tidak diterima oleh Allah SWT.
Kemudian, meskipun amal ibadah itu benar, namun dikerjakan
dengan tidak ikhlas, juga tidak diterima oleh Allah SWT. Amal
ibadah baru diterima apabila dikerjakan dengan ikhlas dan
dengan benar pula. Yang dimaksud dengan ' ikhlas' adalah
dikerjakan semata untuk Allah SWT, dan yang dimaksud dengan
'benar' adalah dikerjakan sesuai dengan tuntunan Sunnah."
Keharusan amal ibadah hanya ditujukan untuk Allah SWT, yaitu
sebagaimana dideskripsikan oleh hadits, " Sesungguhnya
keabsahan segala amal ibadah ditentukan oleb niat." Dan,
keharusan amal ibadah sesuai dengan tuntunan Sunnah adalah
seperti dideskripsikan oleh hadits, " Siapa yang menciptakan
hal baru dalam ajaran agama kami (Islam) yang bukan merupakan
bagian darinya, maka perbuatannya itu tertolak."
Dengan demikian, perbuatan bid'ah hanya terjadi dalam bidang
agama. Oleh karena itu, salah besar orang yang menyangka bahwa
perbuatan bid'ah juga dapat terjadi dalam perkara-perkara adat
kebiasaan sehari-hari. Karena, hal-hal yang biasa kita jalani
dalam keseharian kita, tidak termasuk dalam medan operasional
bid'ah. Sehingga, tidak mungkin dikatakan " masalah ini (salah
satu masalah kehidupan sehari-hari) adalah bid'ah karena kaum
salaf dari kalangan sahabat dan tabi'in tidak melakukannya".
Bisa jadi hal itu adalah sesuatu yang baru, namun tidak dapat
dinilai sebagai bid'ah dalam agama. Karena jika tidak
demikian, niscaya kita akan memasukkan banyak sekali hal-hal
baru yang kita pergunakan sekarang ini sebagai bid'ah, seperti
mikropon, karpet, meja, dan bangku yang kalian duduki, semua
itu tidak dilakukan oleh oleh generasi Islam yang pertama,
juga tidak dilakukan oleh sahabat, apakah hal itu dapat
dinilai sebagai bid'ah ?
Oleh karena itu, ada orang yang bersikap salah dalam masalah
ini sehingga jika melihat ada mimbar yang anak tangganya lebih
dari tiga tingkat, niscaya dia akan berkata, " ini adalah
bid'ah". Tidak, bid'ah tidak termasuk dalam masalah seperti
itu. Rasulullah saw. pertama kali berkhotbah di atas pokok
pohon kurma, kemudian ketika manusia bertambah banyak, ada
yang mengusulkan, " Tidakkah sebaiknya kami membuat tempat
berdiri yang tinggi bagi baginda sehingga orang-orang yang
hadir dapat melihat baginda ?" Setelah itu, didatangkan
seorang tukang kayu, ada yang mengatakan ia adalah tukang yang
berasal dari Romawi. Selanjutnya, si tukang kayu membuat
mimbar dengan tiga tingkat. Seandainya dibutuhkan mimbar yang
lebih dari tiga tingkat, niscaya ia akan membuatnya. Masalah
ini tidak termasuk dalam lingkup medan operasional bid'ah.
Oleh karena itu, sangat penting sekali kita mengetahui apa
yang dimaksud dengan sunnah ? Dan, apa yang dimaksud dengan
bid'ah ? Juga ada kesalahan sikap dalam memandang perbuatan-
perbuatan Rasulullah saw.. Sebagian orang ada yang menyangka
bahwa seluruh apa yang dilakukan oleh Rasulullah saw. adalah
sunnah. Padahal, para ulama berkata bahwa perbuatan-perbuatan
Nabi saw. yang termasuk sebagai sunnah hanyalah perbuatan yang
ditujukan oleh beliau sebagai perbuatan ibadah.[12]

Di antara contohnya, Nabi saw. (pada beberapa kesempatan)
melakukan shalat sunnah dua rakaat sebelum shubuh. Setelah
itu, beliau berbaring dengan memiringkan tubuhnya ke samping
kanan.[13] Dari sini, ada sebagian ulama (diantaranya Ibnu
Hazm) yang menyimpulkan bahwa setelah melakukan shalat sunnah
dua rakaat sebelum shubuh kita harus berbaring miring di sisi
kanan tubuh kita. Padahal, Aisyah r.a. berkata, " Nabi saw.
berbaring seperti itu bukan untuk mencontohkan perbuatan
sunnah, namun semata karena beliau lelah setelah sepanjang
malam beribadah sehingga beliau perlu beristirahat sejenak."
[14]
Dengan demikian, perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh
Rasulullah saw. perlu diperhatikan, apakah yang beliau lakukan
itu ditujukan sebagai perbuatan ibadah atau bukan. Di sini
banyak terjadi kesimpangsiuran dan kesalahpahaman, misalnya
seperti yang terjadi dalam masalah tata cara makan. Sebagian
orang berpendapat bahwa makan dengan sendok dan garpu, atau
di meja makan, adalah perbuatan bid'ah. Ini adalah sikap yang
berlebihan dan ekstrem. Karena, masalah ini adalah bagian dari
kebiasaan sehari-hari yang berbeda-beda bentuknya antara satu
daerah dan daerah lain, dan antara satu zaman dan zaman
lainnya. Nabi saw makan dengan kebiasaan yang dilakukan oleh
lingkungan beliau, terutama yang sesuai dengan sifat
Rasulullah saw., yakni sifat memberikan kemudahan, tawadhu',
dan zuhud. Namun demikian, makan dengan menggunakan meja makan
atau menggunakan sendok dan garpu, bukanlah sesuatu yang
bid'ah. Lain halnya dengan sebagian sisi dari tata cara makan
itu.
Saya pernah didebat oleh seorang penulis besar (yaitu seorang
tokoh yang sering menulis artikel di majalah-majalah dan
kadang-kadang menulis tentang topik keislaman) tentang
tuntunan makan dengan tangan kanan. Ia berkata bahwa hal itu
bukan sunnah karena ia hanyalah suatu bentuk adat kebiasaan
belaka. Saya menjawab bahwa bukan begitu permasalahannya.
Dalam masalah seperti ini, kita harus memperhatikannya dengan
cermat. Benar, masalah makan dengan sendok dan garpu, atau
makan di lantai atau di meja makan, adalah masalah yang
bersifat praktikal, dan setiap orang melakukan hal itu sesuai
dengan kebiasaan yang berlaku di tengah kaumnya, selama tidak
ada indikasi yang menunjukkan bahwa suatu cara tertentu
dilakukan sebagai bentuk beribadah, atau ada tuntunan sunnah
di situ. Sedangkan, masalah makan dengan tangan kanan, tampak
dengan jelas adanya petunjuk Nabi saw. untuk melakukan hal
itu. Karena, secara eksplisit Rasulullah saw. memerintahkan
hal itu, yaitu saat beliau bersabda kepada seorang anak,
" Bacalah nama Allah, Nak, kemudian makanlah dengan tangan
kananmu, dan makanlah makanan (hidangan) yang dekat dengan
kamu."[15]
Lebih jauh lagi, Rasulullah saw. melarang melakukan tindakan
sebaliknya, seperti alam sabda beliau, " Hendaklah kalian
tidak makan dan minum dengan tangan kiri kalian karena setan
makan dan minum dengan tangan kirinya."[16]

Oleh karena itu, ada ulama yang mengatakan bahwa hal itu
menunjukkan keharaman (makan dan minum dengan tangan kiri)
karena beliau menyerupakan orang yang melakukan tindakan
seperti itu dengan setan. Dan, beliau tidak pernah
menyerupakan sesuatu perbuatan sebagai perbuatan setan dalam
masalah yang makruh.
Saat Rasulullah saw. melihat seseorang makan dengan tangan
kirinya, beliau bersabda kepadanya, " Makanlah dengan tangan
kananmu." Orang itu menjawab, " Aku tidak bisa." Rasulullah
saw. kembali bersabda, " Engkau pasti bisa."[17] Kemudian
Rasulullah saw. menyumpahi orang itu sehingga ia tidak lagi
dapat mengangkat tangan kanannya setelah itu. Ini menunjukkan
bahwa masalah ini (makan dengan tangan kanan) amat ditekankan.
Oleh karena itu, dalam masalah seperti ini kita harus
memperhatikannya dengan cermat agar mengetahui batasan dan
aturan-aturannya yang terdapat dalam tuntunan Rasulullah saw..
Untuk kemudian kita usahakan untuk mengetahui mana tindakan
yang ditujukan sebagai perbuatan sunnah dan sebagai bentuk
beribadah kepada Allah SWT, dan mana tindakan yang bersifat
sekadar kebiasaan dan alami.
Kadang-kadang Nabi saw. melakukan sesuatu seperti cara kaum
beliau melakukan hal itu, beliau makan dengan cara seperti
mereka makan, beliau minum dengan cara seperti mereka minum,
dan beliau berpakaian dengan cara seperti mereka berpakaian.
Dan, terkadang beliau melakukan sesuatu sesuai dengan
kecenderungan selera beliau. Misalnya, beliau senang makan
labu. Apakah kita semua harus senang makan labu ? Masalah-
masalah seperti ini ditentukan oleh selera masing-masing
orang, ada orang yang senang sop kaki, ada yang senang sayur
bayam, dan seterusnya.
Rasulullah saw. juga menyenangi daging kaki depan, apakah kita
semua juga harus menyenangi daging kaki depan ? Ada orang yang
senang dengan daging punggung, ada yang senang dengan daging
paha, dan seterusnya. Jika selera Anda kebetulan sama dengan
selera Nabi saw, hal itu adalah baik dan berkah. Dan, jika ada
seseorang yang berusaha sedapat mungkin mencontoh seluruh
perilaku Rasulullah saw hingga pada masalah-masalah yang tidak
berkaitan dengan tuntunan agama karena semata dorongan
kecintaannya yang demikian besar terhadap Rasulullah saw., dan
kesungguhannya untuk mencontoh segala hal yang pernah
dilakukan oleh Rasulullah saw., ini juga suatu tindakan yang
terpuji, meskipun hal itu tidak dianjurkan oleh agama.
Jika ada seseorang yang berkata, " Aku ingin mencontoh segala
perilaku Rasulullah saw., meskipun apa yang dilakukan oleh
beliau tidak termasuk dalam tuntunan ibadah. Aku akan makan
dengan bersila di lantai dan dengan menggunakan tanganku
(tanpa menggunakan sendok dan garpu), seperti yang dilakukan
oleh Rasulullah saw.." Kepada orang seperti itu kami katakan,
semoga Allah SWT memberikan balasan kebaikan kepadamu. Kami
tidak akan mengingkari tindakannya itu, dan barangkali orang
itu akan mendapatkan pahala sesuai dengan niatnya.
Adalah Ibnu Umar r.a. karena kesungguhannya yang besar untuk
mengikuti segala perbuatan yang pernah dilakukan oleh
Rasulullah saw. dan kesempurnaan cintanya kepada beliau, ia
mengikuti segala apa pun yang pernah dilakukan oleh Rasulullah
saw., meskipun hal itu tidak termasuk perbuatan ibadah atau
bukan perbuatan yang diperintahkan untuk dikerjakan.[18]
Demikian juga sebagian sahabat yang lain.
Misalnya, ada seorang sahabat yang melihatnya sedang shalat
dengan kancing baju yang terbuka, saat ia ditanya mengapa ia
melakukan hal itu, ia menjawab bahwa ia melihat Rasulullah
saw. melakukan perbuatan seperti itu.[19] Padahal, barangkali
Nabi saw. melakukan hal itu semata karena pada saat itu beliau
sedang kegerahan atau dalam keadaan musim panas. Lantas,
apakah Anda akan melakukan tindakan yang sama pula pada saat
musim dingin ! Itu hanyalah pendapat Ibnu Umar saja. Suatu
saat Ibnu Umar sedang berada dalam perjalanan bersama
rombongan, tiba-tiba ia meminggirkan kendaraannya dari jalan
sehingga rombongan yang menyertainya merasa heran. Lantas,
pembantunya menjelaskan bahwa ia melakukan hal itu karena
dahulu ia pernah berjalan bersama Nabi saw. di tempat itu,
kemudian saat tiba di tempat itu Rasulullah saw. bergerak
minggir ke pinggir jalan.[20]

Dalam salah satu perjalanan ibadah haji, ia juga pernah
mengistirahatkan kendaraannya di suatu tempat dan rombongan
yang menyertainya juga ikut beristirahat bersamanya. Para
anggota rombongan itu bertanya-tanya, apa yang ia ingin
kerjakan di tempat itu ? Ternyata, ia pergi ke suatu tempat
dan melaksanakan hajatnya (membuang air kecil atau besar)
di tempat itu. Dan, saat ia ditanya mengapa ia melakukan hal
itu, ia menjawab bahwa hal itu dilakukannya karena pada saat
Nabi saw. melaksanakan ibadah haji dan sampai ke tempat ini,
beliau melaksanakan hajat beliau di tempat itu.[21]

Apakah tindakan seperti ini diperintahkan untuk dikerjakan
oleh insan muslim ? Tentu saja tidak, namun, perbuatan tadi
adalah suatu bentuk manifestasi kesempurnaan cinta kepada Nabi
saw.. Ia juga senang meletakkan untanya di tempat Rasulullah
saw. meletakkan unta beliau.
Perbuatan semacam ini tidak kami cela kecuali jika orang itu
mengharuskan manusia untuk melakukan tindakan seperti itu
juga. Karena, perbuatan seperti itu tidak diperintahkan oleh
agama. Oleh karena itu, ia harus mengetahui bahwa apa yang ia
lakukan itu tidak harus dilakukan oleh manusia dan tidak wajib
bagi mereka, juga bukan perbuatan yang sunnah.
Orang yang melakukan hal itu telah melakukan tindakan yang
baik, namun ia menjadi salah jika ia menginginkan (atau malah
memaksakan) orang lain untuk melakukan tindakan yang sama
seperti yang ia lakukan, atau mengingkari dan mencela orang
yang tidak melakukannya. Atau juga jika ia meyakini bahwa hal
itu adalah bagian dari pokok agama, atau bagian darinya, atau
menganggap orang yang meninggalkan perbuatan itu berarti telah
meninggalkan sunnah. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini
penting bagi kita memisahkan antara sunnah yang sebenarnya dan
bid'ah.

KREASI DAN PENEMUAN BARU SEHARUSNYA HANYA DALAM URUSAN DUNIAWI
Bid'ah, seperti kami katakan sebelumnya, adalah " tindakan
mengada-ada dalam beragama". Karena, Islam menghendaki para
pemeluknya untuk menjalankan agama sesuai batas ketentuan yang
telah diberikan dan tidak mengada-ada. Untuk kemudian,
mencurahkan energi kreatif mereka untuk membuat kreasi baru
dalam bidang-bidang keduniawian. Inilah yang dilakukan oleh
generasi salafus saleh.
Kalangan salaf menjalankan agama pada batas ajaran yang jelas
telah ada, dalam riwayat yang pasti dari Rasulullah saw. dan
pada sunnah-sunnah. Untuk kemudian, mereka mencurahkan segenap
potensi dan energi mereka untuk berkreasi dan bekerja untuk
memperbaiki kehidupan duniawi.
Dalam biografi Umar Ibnul Khaththab r.a., Anda akan menemukan
banyak hal yang dikenal dengan awwaliyyaat Umar ' pioniritas
Umar'. Yaitu, ia adalah orang yang pertama kali mengadakan
sistem administrasi di negara Islam, yang pertama kali
membangun kota-kota terpadu, pemimpin yang pertama kali
mengadakan investigasi langsung kepada rakyat, dan lain-lain.
Ada kitab yang berjudul al Awaail 'Hal-Hal yang Pertama' atau
apa-apa yang pertama kali dibudayakan oleh kalangan salaf.
Para sahabat telah menciptakan banyak kreasi untuk menciptakan
kemaslahatan bagi kaum muslimin.
Dan, makna 'mengada-ada' adalah hal itu tidak mempunyai sumber
dalam syariat. Asal kata bid'ah adalah diambil dari kata bad'a
dan ibtada'a, yang bermakna 'menciptakan sesuatu yang belum
pernah ada sebelumnya'. Oleh karena itu, Al Qur'an
mendeskripsikan Allah SWT sebagai, " Allah Pencipta langit dan
bumi." Artinya, Allah SWT menciptakan langit dan bumi dari
nol, tanpa adanya contoh sebelumnya.[22]
Membuat bid'ah adalah menciptakan ajaran agama yang tidak ada
aturannya dari Rasulullah saw., juga dari Khulafa ar Rasyidin,
yang diperintahkan kepada kita agar mengikuti sunnah mereka.

SESUATU YANG MEMILIKI LANDASAN DALAM SYARIAT TIDAK DINILAI
SEBAGAI BID'AH...

Sesuatu yang baru itu, jika ia mempunyai asal dan sumber dalam
syariat, maka ia tidak dapat dikatakan sebagai bid'ah. Banyak
hal yang dibuat oleh kaum Muslimin yang mempunyai asal dan
landasan dalam syariat. Misalnya, penulisan dan
pengkompilasian (penggabungan) Al Qur'an dalam satu mushaf,
seperti yang dilakukan oleh Abu Bakar berdasarkan usul Umar
r.a..
Sebelumnya Abu Bakar merasa berat untuk melaksanakan rencana
itu. Ia berkata, " Bagaimana mungkin aku melakukan sesuatu
yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah saw. ?" Namun,
Umar terus membujuknya dan memberikan argumentasi betapa
pentingnya hal itu hingga akhirnya Abu Bakar menerima usul itu
dan melaksanakannya.[23] Karena, hal itu demi kebaikan dan
kepentingan kaum muslimin, meskipun hal itu tidak dilakukan
oleh Nabi saw.. Agama Islam dapat dipertahankan dengan menjaga
dan memelihara Al Qur an itu, dan Al Qur an adalah pokok
agama, sumber, dan pokok yang abadi. Oleh karena itu, kita
harus menjaga Al Qur'an dari kemungkinan tercecer atau
mengalami kesimpangsiuran.
Nabi saw telah mengizinkan pencatatan wahyu saat wahyu
diturunkan. Dan, beliau memiliki sekretaris yang bertugas
mencatat wahyu-wahyu yang diturunkan (Zaid bin Tsabit). Semua
itu dilakukan dalam upaya menjaga dan memelihara Al Qur'an.
Selama masa hidup Nabi saw., beliau tidak mengkompilasikan
Al Qur'an dalam satu kesatuan. Karena, pada saat itu, ayat-
ayat Al Qur'an terus turun secara beriringan, dan Allah SWT
terkadang mengubah sebagian ayat yang telah diturunkan kepada
Rasulullah saw. itu. Sehingga, jika ayat-ayat yang diturunkan
itu langsung dikompilasikan ke dalam satu kesatuan, niscaya
akan ditemukan kesulitan jika terjadi perubahan dari Allah
SWT. Terkadang, saat suatu ayat diturunkan, Rasulullah saw.
memerintahkan kepada para pencatat wahyu, letakkanlah ayat ini
dalam surah itu (surah tertentu), dan masing-masing surah
dalam Al Qur'an belum diketahui sudah lengkap atau belum ayat-
ayatnya, hingga seluruh ayat Al Qur'an selesai diturunkan.
Surah al Baqarah misalnya, ia turunkan pada permulaan era
Madinah. Namun, ayat-ayat dalam surah itu baru terlengkapi
setelah lewat delapan tahun. Dan, di dalamnya terdapat ayat-
ayat yang oleh ulama dikelompokkan sebagai ayat-ayat yang
terakhir diturunkan. Seperti pendapat yang diriwayatkan dari
Ibnu Abbas r.a. bahwa ayat Al Qur'an yang terakhir diturunkan
adalah firman Allah SWT, " Dan, peliharalah dirimu dari (azab
yang terjadi pada) hari yang pada waktu itu kamu semua
dikembalikan kepada Allah. Kemudian, masing-masing diri diberi
balasan yang sempurna terhadap apa yang telah dikerjakannya,
sedang mereka sedikitpun tidak dianiaya (dirugikan)."
(Surah Al Baqarah: 281)
Oleh karena itu, selama masa itu, Nabi saw. melarang upaya
pengkompilasian Al Qur an. Namun, saat kelengkapan Al Qur'an
telah diketahui, setelah wafatnya Rasulullah saw., maka para
sahabat merasa aman dari kemungkinan adanya penambahan dan
pengurangan Al Qur an. Oleh karena itu, mereka segera mencatat
ayat-ayat Al Qur'an yang berserakan dalam berbagai media dan
mengkompilasikannya dalam satu mushaf. Dengan demikian, hal
ini mempunyai dasar dan sandaran dalam syariat sehingga
perbuatan itu tidak dapat dianggap sebagai bid'ah.
Contoh yang lain adalah tindakan Umar r.a. yang menyatukan
orang-orang yang melaksanakan shalat tarawih dalam satu
jamaah shalat di bawah satu imam shalat, yaitu Ubay bin Ka'ab.
Sebelumnya, mereka melaksanakan shalat tarawih secara
terpisah-pisah dengan imam shalat masing-masing. Bukhari
meriwayatkan dari Abdurrahman bin Abdul Qaari bahwa ia
berkata, " Aku berjalan bersama Umar Ibnul Khaththab pada
malam bulan Ramadhan menuju masjid. Pada saat itu, kami
menemukan masyarakat melakukan shalat (tarawih) secara
terpisah-pisah. Ada yang shalat sendirian dan ada pula yang
shalat dengan diikuti oleh beberapa orang makmum. Melihat itu
Umar berkata, " Aku berpendapat, seandainya semua orang
disatukan dalam jamaah shalat (tarawih) di bawah pimpinan satu
orang imam niscaya akan lebih baik." Dan, rencananya Umar akan
mengangkat Ubay bin Ka'ab sebagai imam shalat mereka.
Kemudian, pada malam lainnya, aku kembali berjalan bersama
Umar (menuju masjid). Saat itu, kami telah mendapati orang-
orang sedang melaksanakan shalat (tarawih) di bawah pimpinan
satu imam shalat mereka. Melihat itu Umar berkomentar,
" Bid'ah[24] yang paling baik adalah ini. Dan, orang yang saat
ini tidur adalah lebih baik dari mereka yang melaksanakan
qiyamullail pada saat ini karena mereka (yang masih tidur)
akan melaksanakannya pada akhir malam, sedangkan orang lainnya
melaksanakannya pada awal malam."[25]
Kata " bid'ah" yang diucapkan oleh Umar tadi, yakni kalimat
"bid'ah yang paling baik adalah ini" adalah kata bid'ah dengan
pengertian lughawi 'etimologis', bukan dengan pengertian
terminologis syariat. Karena, kata bid'ah dalam pengertian
etimologis adalah "sesuatu yang baru diciptakan atau baru
diperbuat" yang belum pernah ada sebelumnya. Yang dimaksud
oleh Umar dengan ucapannya itu adalah, manusia sebelumnya
belum pernah melaksanakan shalat tarawih dalam kesatuan jamaah
shalat seperti itu. Meskipun pada dasarnya, shalat tarawih
secara jamaah itu sendiri pernah terjadi pada masa Nabi saw..
Karena, beliau mendorong kaum muslimin untuk melaksanakan
shalat itu. Dan, banyak orang yang mengikuti shalat tarawih
beliau selama beberapa malam. Namun, saat beliau mendapati
banyak orang yang berkumpul untuk melaksanakan shalat tarawih
bersama beliau, beliau tidak menemui mereka lagi untuk shalat
bersama. Kemudian, pada pagi harinya, beliau bersabda, " Aku
melihat apa yang kalian lakukan itu, dan yang menghalangi
diriku untuk keluar dan shalat (tarawih) bersama kalian adalah
karena aku takut jika shalat itu sampai diwajibkan atas
kalian."[26]
Kekhawatiran ini, yakni kekhawatiran Rasulullah saw. jika
Allah SWT mewajibkan shalat tarawih itu, menjadi hilang dengan
wafatnya Nabi saw.. Dengan begitu, hilang pula faktor yang
menghalangi dilaksanakannya shalat tarawih dalam satu kesatuan
jamaah shalat.[27]
Yang terpenting, makna "mukhtara'ah (sesuatu yang baru
diciptakan atau baru diperbuat)" itu adalah sesuatu yang tidak
diperintahkan oleh syariat.
Dari sini, ulama salaf kemudian mengkompilasikan ilmu-ilmu
syariat, kemudian menciptakan ilmu-ilmu baru untuk mendukung
syariat itu. Seperti, ilmu ushul fiqih, ilmu musthalah hadits,
ilmu-ilmu bahasa Arab, dan sebagainya.

MENIRU JALAN SYARIAT...

Kembali kepada definisi bid'ah yang diberikan oleh
asy Syathibi. Kalimat "meniru syariat", artinya hal itu meniru
jalan syariat, padahal pada kenyataannya tidak seperti itu.
Ada banyak hal yang diciptakan oleh manusia yang tidak
mempunyai sandaran dan dasar dalam syariat, hanya saja ia
mempunyai sisi kemiripan kepada suatu ajaran syariat itu.
Karena, hal itu suatu bentuk beribadah dan pada satu segi, ia
meniru jalan syariat. Sisi inilah yang dianggap baik oleh para
pembuat bid'ah dan para pengikut mereka. Karena, jika hal itu
tidak memiliki suatu kemiripan dengan manusia, niscaya orang
banyak akan menolaknya. Mereka menganggap hal itu baik karena
ada segi kemiripannya dengan jalan syariat.

BID'AH YANG DIMAKSUDKAN ADALAH BERSIKAP BERLEBIH-LEBIHAN DALAM
BERIBADAH...

Dalam definisi asy Syathibi juga terdapat redaksi, "yang
dimaksudkan dengan melakukan hal itu (bid'ah) adalah sebagai
cara berlebihan dalam beribadah kepada Allah SWT". Maksudnya,
orang yang membuat suatu praktek bid'ah, biasanya melakukan
hal itu dengan tujuan untuk berlebih-lebihan dalam bertaqarrub
kepada Allah SWT. Karena, mereka merasa tidak cukup dengan
praktek ibadah yang telah diajarkan oleh syariat sehingga
mereka berusaha untuk menambah suatu praktek baru. Dengan
tindakan itu, seakan-akan mereka ingin mengoreksi syariat dan
menutupi kekurangannya sehingga akhirnya mereka menciptakan
suatu praktek ibadah baru, hasil rekayasa pikiran mereka.
Apakah niat yang baik itu dapat menjustifikasikan tindakan
mereka ? Tentu saja tidak. Niat seperti itu tidak dapat
memberikan justifikasi suatu perbuatan bid'ah. Kami telah
katakan sebelumnya bahwa dalam masalah beribadah, kita harus
melengkapi dua hal, niat (hanya semata untuk Allah SWT) dan
mutaba'ah yaitu 'beribadah dengan mengikuti cara yang
diajarkan oleh Al Qur'an dan Rasulullah saw.'. Ukuran dan
karakteristik ibadah yang benar amat jelas, yaitu harus
mengikuti tuntunan Rasulullah saw., " Siapa yang mengerjakan
suatu amal ibadah yang tidak diatur oleh sunnah kami, maka
amalnya itu tertolak." Ini adalah bid'ah dalam agama. Bid'ah
dengan pengertian seperti ini adalah dhalaalah 'sesat',
seperti disinyalir oleh hadits riwayat Irbaadh bin Saariah,
" Karena setiap bid'ah adalah sesat."

PEMBAGIAN MACAM BID'AH MENURUT ULAMA DAN PENDAPAT YANG PALING
TEPAT...

Ada ulama yang membagi bid'ah menjadi dua macam, yaitu bid'ah
hasanah (bid'ah yang baik) dan bid'ah sayyi'ah (bid'ah yang
buruk').[28] Ada juga ulama yang membagi bid'ah menjadi lima
macam, seperti halnya lima macam hukum syariat, yaitu bid'ah
wajibah (bid'ah yang wajib dilakukan), bid'ah mustahabbah
(bid'ah yang dianjurkan untuk dilakukan), bid'ah makruhah
(bid'ah yang makruh dilakukan), bid'ah muharramah (bid'ah yang
haram dilakukan), dan bid'ah mubaahah (bid'ah yang boleh
dilakukan).[29]
Ungkapan yang paling tepat dalam masalah ini adalah bahwa
pendapat tadi pada akhirnya bertemu pada muara yang sama dan
sampai pada kesimpulan yang sama pula. Karena, mereka
(misalnya) memasukkan masalah pencatatan Al Qur'an dan
pengkompilasiannya dalam satu mushaf, juga masalah
pengkodifikasian ilmu nahwu, ilmu ushul fiqih, dan
pengkodifikasian ilmu-ilmu keislaman yang lain, dalam kategori
bid'ah yang wajib dan sebagai bagian dari fardhu kifayah
(kewajiban kolektif).
Ulama yang lain menggugat penamaan perbuatan tadi sebagai
bagian dari bid'ah. Menurut mereka, pengklasifikasian bid'ah
semacam itu adalah pengklasifikasian bid'ah berdasarkan
pengertian lughawi 'etimologis', sedangkan pengertian kata
bid'ah yang kami gunakan adalah pengertian secara terminologis
syar'i. Sedangkan, hal-hal tadi (seperti pencatatan Al Qur'an
dan pengkompilasiannya) tidak kami masukkan dalam kategori
bid'ah. Adalah suatu inisiatif yang tidak tetap memasukkan
hal-hal semacam tadi dalam kelompok bid'ah.
Yang terbaik adalah kita berpedoman pada pengertian bid'ah
yang dipergunakan oleh hadits syarif. Karena, dalam hadits
syarif diungkapkan redaksi yang demikian jelas ini, "Karena
setiap bid'ah adalah sesat," dengan pengertian yang general
(umum). Jika dalam hadits itu diungkapkan, "Karena setiap
bid'ah adalah sesat," maka tidak tepat kiranya jika kita
kemudian berkata bahwa di antara bid'ah ada yang baik dan ada
yang buruk, atau ada bid'ah wajib dan ada bid'ah yang
dianjurkan, dan sebagainya. Kita tidak patut melakukan
pembagian bid'ah seperti ini. Yang tepat adalah jika kita
mengatakan seperti yang diungkapkan oleh hadits, "Karena
setiap bid'ah adalah sesat."
Dan, kata bid'ah yang kami pergunakan itu adalah kata bid'ah
dengan definisi yang diucapkan oleh Imam asy Syathibi,
" Bid'ah adalah suatu cara beragama yang dibuat-buat," yang
tidak mempunyai dasar dan landasan, baik dari Al Qur'an,
sunnah Nabi saw., ijma', qiyas, maupun maslahat mursalah, dan
tidak juga dari salah satu dalil yang dipakai oleh para
fuqaha.

MENGAPA ISLAM BERSIKAP KERAS DALAM MASALAH BID'AH ?...

Mengapa Islam bersikap keras dalam masalah bid'ah, menilainya
sebagai kesesatan, dan pelakunya diancam akan dimasukkan
ke neraka, serta Nabi saw. memberikan peringatan yang amat
keras dalam masalah ini ? Berikut ini adalah alasan-alasannya.

1@ PEMBUAT DAN PELAKU BID'AH MENGANGKAT DIRINYA SEBAGAI
PEMBUAT SYARIAT BARU DAN SEKUTU BAGI ALLAH SWT...

Islam memberikan peringatan keras terhadap masalah bid'ah ini
karena (seperti telah kami singgung sebelumnya) dalam kasus
seperti ini, si pembuat bid'ah bertindak seakan-akan ingin
mengoreksi Rabbnya dan dia memberikan kesan kepada kita atau
kepada dirinya bahwa dia mengetahui apa yang tidak diketahui
oleh Allah SWT. Seakan-akan dia berkata, " Tuhanku, apa yang
Engkau telah syariatkan kepada kami itu tidak cukup. Oleh
karena itu, kami menambah praktek ibadah baru atas apa yang
telah Engkau syariatkan itu." Dengan demikian, ia telah
menetapkan dirinya sebagai pembuat syariat dan memberikan
kepada dirinya hak untuk menciptakan syariat baru. Padahal,
hak membuat syariat adalah milik Allah SWT semata. Oleh karena
itu, Allah berfirman, " Apakah mereka mempunyai sembahan-
sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama
yang tidak diizinkan Allah ?.... "(Surah Asy Syuura: 21)
Tindakan membuat syariat baru yang tidak dizinkan oleh Allah
SWT adalah tindakan yang amat berbahaya. Karena, dalam kasus
seperti itu, si pelakunya berarti telah mengangkat dirinya
sebagai sekutu bagi Allah SWT dan memberikan hak kepada
dirinya untuk menciptakan syariat baru dan berkreasi dalam
agama, serta membuat tambahan dalam agama Allah SWT. Hal ini
dapat menimbulkan bahaya yang amat besar dan dapat
menjerumuskan seseorang menjadi musyrik kepada Allah SWT.
Tindakan seperti inilah yang telah merusak agama-agama langit
sebelum Islam.
Apa yang telah terjadi pada agama-agama langit sebelum Islam
itu ? Yaitu, terjadi bid'ah secara besar-besaran dan para
pemeluk agama-agama itu memberikan kepada diri mereka hak
untuk menambahkan hal-hal baru dalam agama mereka, yang secara
khusus dipegang oleh para pendeta dan orang-orang alim mereka
sehingga agama yang mereka anuti bentuknya berubah sama sekali
dari agama aslinya. Inilah yang dikecam oleh Islam dan
diabadikan oleh Al Qur'an dalam firman Allah SWT, " Mereka
menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sehagai
tuhan selain Allah, dan (juga mereka mempertuhankan) Al masih
putra Maryam, padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan
Yang Maha Esa, tidak ada tuhan (yang berhak disembah) selain
Dia. Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan."
(Surah At Taubah: 31)
Al Qur'an memandang mereka sebagai orang-orang musyrik. Saat
Adi bin Hatim ath Thaai (yang sebelumnya memeluk Kristen pada
masa jahiliah) bertemu Rasulullah saw., ia membaca ayat,
" Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka
sebagai tuhan selain Allah." Dan, iapun (Adi bin Hatim ath
Thaai) berkata, " (Pada kenyataannya) mereka tidak menyembah
para pendeta dan rahib itu." Rasulullah saw. menjawab, " Benar
begitu, (namun) mereka (para pendeta dan rahib itu) telah
mengharamkan sesuatu yang halal bagi umatnya dan menghalalkan
apa yang haram bagi mereka, dan mereka (umatnya) pun mengikuti
ketetapan para pendeta dan rahib itu dengan patuh. Itulah
bentuk ibadah penyembahan mereka kepada para pendeta dan rahib
itu."[30]
Adi bin Hatim memahami ibadah dan penyembahan hanya berbentuk
ritus-ritus saja, shalat, ruku, sujud, dan semacamnya.
Kemudian, Nabi saw. memberikan penjelasan kepadanya bahwa
bentuk penyembahan mereka itu tidak semata-mata seperti itu,
ibadah dan penyembahan mempunyai makna yang lebih luas. Taat
dan tunduk secara mutlak terhadap apa yang mereka (para
pendeta dan para rahib) lakukan, apa yang mereka halalkan, apa
yang mereka haramkan, apa yang mereka buat-buat, dalam
perkara-perkara duniawi adalah bentuk penyembahan kepada
mereka. Karena, status rubbubiyah 'ketuhanan'lah yang memiliki
hak untuk menetapkan syariat, menghalalkan, dan mengharamkan.
Dan, status itu pula yang memberikanNya hak untuk menetapkan
bentuk praktek ibadah manusia kepadaNya, sesuai yang Dia
kehendaki. Tidak ada seorang pun yang mempunyai hak untuk
beribadah kepada Allah SWT dengan cara yang dia kehendaki
sendiri.
Dengan demikian, orang yang membuat bid'ah meletakkan dirinya
seakan-akan pihak yang berwenang menetapkan hukum dan menjadi
sekutu bagi Allah SWT dan dia mengoreksi apa yang telah
ditetapkan oleh Allah SWT.

2@ PEMBUAT BID'AH MEMANDANG AGAMA TIDAK LENGKAP DAN BERTUJUAN
MELENGKAPINYA...

Dari segi lain, orang yang mengerjakan bid'ah seakan-akan
menganggap agama tidak lengkap, kemudian ia ingin
menyempurnakan kekurangan dan ketidaksempurnaannya. Padahal,
Allah SWT telah menyempurnakan agama secara lengkap, sebagai
bentuk kesempurnaan nikmat yang diberikanNya kepada kita. Dia
berfirman, ",...Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu
agamamu dan telah Kucukupkan kepadamu nikmatKu, dan telah
Kuridhai Islam itu jadi agama bagimu...,"
(Surah Al Maa'idah: 3)
Oleh karena itu, Ibnu Majisyun meriwayatkan dari Imam Malik
(Imam Darul Hijrah) bahwa dia berkata, " Siapa yang telah
membuat praktek bid'ah dalam agama Islam dan ia melihatnya
sebagai suatu tindakan yang baik, berarti ia telah menuduh
Nabi Muhammad saw. telah mengkhianati risalah. Karena, Allah
SWT berfirman, " Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu
agamamu." Jika saat itu agama Islam belum lengkap niscaya saat
ini tidak ada agama Islam itu."[31]
Membuat bid'ah dalam agama Islam secara tidak langsung berarti
telah menuduh Nabi saw. berkhianat dan tidak menyampaikan
risalah agama secara lengkap. Allah SWT berfirman,
" Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari
Tuhanmu. Dan, jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan
itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanatNya.
(Surah Al Maa'idah: 67)
Agama Islam telah sempurna dan tidak membutuhkan tambahan
lagi. Karena, sesuatu yang sudah sempurna tidak menerima
adanya penambahan sama sekali. Hanya sesuatu yang tidak
sempurnalah yang dapat menerima penambahan dan penyempurnaan
baginya.
Oleh karena itu, para sahabat dan para imam setelah mereka,
amat memerangi praktek bid'ah karena hal itu berarti menuduh
agama Islam tidak lengkap, dan menuduh Rasulullah saw. telah
berbuat khianat.

3@ PRAKTEK BID'AH MEMPERSULIT AGAMA DAN MENGHILANGKAN SIFAT
KEMUDAHANNYA...

Agama yang disyariatkan oleh Allah SWT pada dasarnya bersifat
mudah dan Allah SWT juga mengutus nabiNya dengan hanifiah
samhah 'agama yang orisinal dan mudah dijalankan', hanif
'orisinal' dalam akidah, dan samhah 'mudah dijalankan dalam
pemberian beban hukum dan praktek ibadah'. Firman Allah,
" ...Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki
kesukaran bagimu...." (Surah Al Baqarah: 185). Juga dalam ayat
lainnya, ",...dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu
dalam agama suatu kesempitan,..." (Surah Al Hajj: 78). Juga
dalam hadits Nabi SAW, " Kalian diutus sebagai orang-orang
yang memberikan kemudahan, bukan sebagai orang-orang yang
membuat kesulitan."[32]
Agama Islam datang dengan sifat mudah dilaksanakan, kemudian
orang-orang yang membuat praktek bid'ah mengubah sifat mudah
Islam itu menjadi susah dan berat. Mereka membebani manusia
dan menyulitkan mereka dengan berbagai macam praktek baru,
serta menambahkan hal-hal baru dalam praktek keagamaan yang
membuat manusia menjadi terbelenggu oleh beban berat. Padahal,
Nabi saw. datang untuk membebaskan manusia dari belenggu dan
beban yang berat itu yang dialami oleh umat sebelumnya.
Seperti diterangkan tentang sifat Nabi saw. dalam kitab-kitab
suci sebelumnya, Taurat dan Injil, " ...dan menghalalkan bagi
mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala
yang buruk, dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-
belenggu yang ada pada mereka". (Surah Al A'raaf:157)
Dan, dalam doa-doa Al Qur'an yang terdapat dalam penghujung
Surah Al Baqarah tertulis, " ...Ya Tuhan kami, janganlah
Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana
Engkau bebankan kepada orang-orang yang sebelum kami,..."
(Surah Al Baqarah: 286)
Para pembuat bid'ah itu berkeinginan mengembalikan beban-beban
agama-agama langit sebelumnya ke dalam Islam dan menambahkan
taklif 'beban hukum' yang memberatkan manusia serta
menyulitkan mereka. Padahal, seungguhnya beban-beban agama
Islam ini bersifat sederhana dan mudah dijalankan. Misalnya,
Allah SWT berfirman, " Sesungguhnya, Allah dan malaikat-
malaikatNya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang
beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam
penghormatan kepadanya," (Surah Al Ahzab: 56)
Dan, redaksi shalawat yang paling afdhal adalah, " Ya Allah,
sampaikanlah shalawat kepada Nabi Muhammad dan keluarga Nabi
Muhammad, sebagaimana Engkau telah sampaikan shalawatMu kepada
Nabi Ibrahim dan keluarga Nabi Ibrahim, sesungguhnya Engkau
Maha Terpuji dan Maha Mulia. Ya Allah, berikanlah keberkahan
kepada Nabi Muhammad dan keluarga Nabi Muhammad, sebagaimana
Engkau telah berikan keberkahan kepada Nabi Ibrahim dan
keluarga Nabi Ibrahim, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji dan
Maha Mulia."[33]
Berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk membaca shalawat
dengan redaksi tadi ? Mungkin hanya seperempat atau setengah
menit ! Namun, kemudian banyak orang yang mengarang kitab
tentang redaksi-redaksi shalawat kepada Nabi saw. dan
menciptakan beragam redaksi shalawat baru yang tidak
diperintahkan oleh Allah SWT. Saya sering mendapati orang
awam yang membaca redaksi shalawat yang beragam itu dan
ternyata ia tidak memahami sama sekali apa yang ia baca itu.
Demikian juga halnya dengan redaksi-redaksi doa, banyak orang
yang mengarang wirid dan hizb yang beragam. Saat masih kecil,
setiap kali saya berangkat ke masjid sebelum subuh, saya
mendapati orang-orang awam menghafal dan membaca doa yang
dikenal dengan "wirid al Bakri", yaitu sebuah redaksi doa yang
disusun berdasarkan abjad bahasa Arab. Redaksi doa yang
pertama dimulai dengan huruf hamzah, kedua dengan huruf ba,
ketiga dengan huruf tsa, dan seterusnya.
Misalnya, redaksi doa yang dimulai dengan huruf ghain adalah,
" Wahai Tuhanku, kekayaanMu adalah kekayaan yang mutlak,
sementara kekayaan kami adalah kekayaan yang muqayyad
'terbatas'". Jika Anda bertanya kepada salah seorang dari
mereka yang membaca doa itu, " Apa makna mutlak dan muqayyad?"
niscaya ia tidak tahu sama sekali.
Wahai saudaraku seiman, apakah ada redaksi doa yang lebih
afdhal, lebih indah, dan lebih mudah dibandingkan redaksi doa
Al Qur'an dan Sunnah ? Redaksi doa dari Al Qur'an misalnya
adalah, "...Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan
kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka."
(Surah Al Baqarah: 201)
Dan, redaksi doa dari Sunnah misalnya adalah, " Ya Allah,
perbaikilah agamaku yang merupakan pegangan utama bagiku dan
perbaikilah duniaku yang merupakan bekal hidupku, perbaikilah
akhiratku tempat kembaliku nanti, jadikanlah hidup yang
kulalui sebagai tambahan segala kebaikan yang dapat kuraih,
dan jadikanlah kematianku sebagai tempat istirahatku dari
segala kejahatan dan keburukan." Diperbolehkan berdoa dalam
bahasa, pertuturan dan kefahaman kamu sendiri(Selain Arab)[34]
Lantas, mengapa kita harus menyusahkan diri sendiri dan
menyusahkan orang lain untuk menghafal doa-doa dengan redaksi
buatan sendiri itu ?
Suatu kali, saya pernah bertanya kepada seseorang, " Mengapa
Anda tidak melaksanakan shalat ?" Ia menjawab, " Karena aku
tidak bisa berwudhu." Aku kembali bertanya, " Apakah engkau
tidak mengetahui bagaimana membasuh muka, kedua tangan,
mengusap kepala, dan membasuh kedua kaki ?" Ia menjawab,
" Kalau itu, aku mengetahuinya, namun aku tidak hafal (do'a)
apa yang harus dibaca pada setiap kali membasuh anggota wudhu
itu." Maksudnya, ia tidak mengetahui doa yang harus dibaca
saat akan memulai berwudhu, misalnya doa, " Segala puji bagi
Allah Yang telah menjadikan air sebagai media untuk menyucikan
(diri) dan Islam sebagai cahaya." Saat istinsyaaq 'memasukkan
air ke hidung', " Ya Allah, rahmatilah aku dengan semerbak
surga dan Engkau meridhaiku." Saat membasuh muka, " Ya Allah,
putihkanlah wajahku pada saat wajah-wajah (kalangan beriman)
memutih dan wajah-wajah (kalangan kafir dan pembuat dosa)
menghitam." Saat membasuh dua tangan, " Ya Allah, berikanlah
buku catatan amal perbuatanku ke tangan kananku, dan
jadikanlah Nabi Muhammad sebagai pemberi syafaat dan
penanggungku." Dan, saat mengusap kepala, " Ya Allah,
haramkanlah rambut dan kulitku dari api neraka." [35]
Oleh sebagian orang, setiap gerakan wudhu disertai doa
tertentu sehingga rekan kita yang malang ini menyangka bahwa
agar shalat dan wudhunya sah maka ia harus menghafal seluruh
doa yang banyak itu, padahal ia tidak memiliki kemampuan untuk
menghafal seluruh redaksi doa yang banyak itu. Mengapa hal ini
harus terjadi ?
Contoh yang lain adalah apa yang dinamakan oleh sebagian orang
sebagai azan syar'i. Pada dasarnya, redaksi dan cara pelafalan
azan mudah saja dilakukan, yaitu Allahu Akbar Allahu Akbar dan
seterusnya. Berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk
mengumandangkan azan seperti itu ? Paling lama satu menit atau
satu menit setengah. Namun, jika kita mengumandangkan azan
dengan cara yang biasa dilakukan pada saat ini, yaitu dengan
membaca hayya 'alash shalaaaaaah, hayya 'alal falaaaaaaah,
berapa banyak waktu yang dibutuhkan untuk itu ? Tentu akan
memerlukan lebih dari lima menit.
Oleh mereka, kata "falah" harus dibaca lebih panjang dari kata
"shalaah". Demikian juga redaksi kedua harus dibaca lebih
panjang dari redaksi pertama. Tidak hanya itu, mereka juga
kemudian mengarang redaksi-redaksi shalawat kepada Nabi saw
yang harus dibaca selepas mengumandangkan azan.
Wahai saudaraku seiman, Rabb kita mensyariatkan lafal-lafal
azan ini dan mewahyukan bentuk lafal itu kepada NabiNya
melalui jalan mimpi[36] yang ditetapkan oleh Nabi saw.. Hal
ini dimaksudkan agar Allah SWT mempunyai peran tertentu dalam
penentuan azan itu, demikian juga Nabi saw. mempunyai peran
tersendiri. Lantas, mengapa Anda kemudian menambahkan redaksi
shalawat dan kata-kata tambahan terhadap azan itu yang membuat
bagian Nabi saw. dalam azan lebih besar dari bagian Rabb
kita ? Ini tidak sepatutnya terjadi.
Islam amat memerangi bid'ah agar manusia tidak memasukkan hal-
hal baru yang mempersulit pelaksanaan agama, serta agar tidak
menambahkan hal-hal yang membuat beban agama menjadi berlipat-
lipat banyaknya daripada apa yang diturunkan oleh Allah SWT.
Karena, hal itu akan membuat manusia menjadi berat untuk
menjalankan perintah-perintah agama.

4@ BID'AH DALAM AGAMA MEMATIKAN SUNNAH...

Ada ungkapan yang diriwayatkan dari kalangan salaf, secara
mauquf dan marfu', " Setiap kali suatu kaum menghidupkan
bid'ah maka saat itu pula mereka mematikan sunnah dengan kadar
yang setara." Ini adalah suatu keniscayaan (kepastian), sesuai
dengan hukum alam dan hukum sosial. Ada orang yang berkata,
" Setiap kali aku melihat suatu sikap berlebihan dalam satu
segi maka saat itu pula aku dapati adanya suatu hak yang
ditelantarkan." Jika Anda menjumpai suatu sikap berlebih-
lebihan pada satu segi, Anda pasti akan mendapati adanya sikap
mengurang-ngurangi pada segi lain. Jika seseorang mencurahkan
energinya untuk melaksanakan perbuatan bid'ah, niscaya
energinya untuk menjalankan sunnah menjadi berkurang karena
kemampuan manusia terbatas. Oleh karena itu, Anda dapat
menandai dengan mudah pada segi apa seorang pelaku bid'ah giat
berusaha dan pada segi apa pula ia malas bekerja. Ia giat dan
bersegera dalam menjalankan perbuatan-perbuatan bid'ah,
sementara lemah dan bermalasan dalam menjalankan hal-hal yang
sunnah.
Saya masih ingat ketika masih berstatus pelajar sekolah
menengah al Azhar di Madrasah al Azhar cabang Thantha. Di kota
Thantha itu terdapat makam sayyid Ahmad Badawi yang terkenal
itu. Di antara syekh kami ada yang menghabiskan sebagian besar
siang dan malamnya di samping makam sayyid Badawi. Saya pernah
berdialog dengan salah seorang syekh kami tersebut, seorang
ahli fiqih mazhab Hanafi, namun ia termasuk dalam kelompok
orang-orang yang menyakralkan tasawuf dan para wali.
Saat itu, ia sedang mengajarkan kepada kami bab al Udhhiah
'kurban' (dan saya saat itu adalah orang yang senang
mengaitkan fiqih dengan kehidupan sehari-hari). Saya berkata
kepadanya, " Pak guru, saat ini, masyarakat sudah melupakan
sunnah ini sehingga orang yang berkurban amat sedikit sekali.
Saya pikir para syekh bertanggung jawab dalam masalah ini dan
mereka dapat memperingatkan masyarakat untuk memperhatikan
sunnah ini." Syekh kami itu menukas, " Hal itu terjadi karena
kemampuan finansial masyarakat saat ini lemah." Saya kembali
berkomentar, " Namun, dalam kesempatan lain, mereka malah
berkurban untuk sesuatu yang bukan sunnah." Mendengar itu ia
bertanya, " Apa yang engkau maksud ?" Saya menjawab, " Maksud
saya, mereka berkurban pada saat peringatan kelahiran sayyid
Badawi. Saat peringatan itu, masyarakat menyembelih puluhan,
bahkan ratusan atau ribuan domba, sementara pada Idul Adha
amat sedikit yang berkurban. Seandainya para syekh mengarahkan
masyarakat untuk menghidupkan sunnah berkurban ini, yaitu
sebagai ganti mereka berkurban pada saat peringatan kelahiran
sayyid Badawi maka mereka berkurban pada hari Idul Adha,
niscaya dengan itu mereka telah menjalankan Sunnah. Sekalipun
mereka tidak menyedekahkan sedikit pun dari kurban mereka,
namun semata mengalirkan darah kurban pada hari itu sudah
menjadi bentuk penghidupan syiar Islam. " Maka dirikanlah
shalat karena Tuhanmu dan berkorbanlah." (Surah Al Kautsar: 2)
Setelah saya berkata seperti itu, guru saya langsung marah
kepada saya dan mengeluarkan saya dari ruang kelas. Ia
kemudian menganggap saya sebagai pembuat onar yang membenci
para wali serta kaum shalihin.
Ini mengingatkan saya pada satu pernyataan bahwa setiap kali
suatu kaum menghidupkan bid'ah dan menyibukkan diri mereka
dengan bid'ah itu, niscaya saat itu pula mereka mematikan
sunnah sejenis. Inilah salah satu rahasia mengapa bid'ah
diperangi dalam Islam.

5@ BID'AH DALAM AGAMA MEMBUAT MANUSIA TIDAK KREATIF DALAM
URUSAN-URUSAN KEDUNIAAN...

Dari segi lain, sebagaimana telah saya singgung sebelumnya,
jika manusia mencurahkan energi dan perhatiannya untuk
melakukan perbuatan-perbuatan bid'ah yang ditambahkan
ke dalam agama, niscaya mereka tidak lagi mempunyai energi
untuk berusaha di dunia dan berkreasi dalam urusan-urusan
duniawi.
Bid'ah, seperti telah kami sinyalir sebelumnya, adalah "jalan
beragama yang dibuat-buat". Pada dasarnya, manusia harus
mengembangkan kreativitasnya dalam bidang keduniaan, namun
karena manusia telah mencurahkan seluruh kreativitasnya dalam
urusan-urusan agama maka ia tidak lagi dapat berkreasi dalam
urusan-urusan duniawi.
Oleh karena itu, generasi Islam yang pertama banyak menelurkan
kreativitas dalam bidang-bidang duniawi dan memelopori banyak
hal yang belum pernah dilakukan sebelumnya. Sehingga, mereka
dapat membangun peradaban yang besar dan tangguh yang
menyatukan antara ilmu pengetahuan dan keimanan, antara agama
dan dunia. Ilmu-ilmu Islam yang dihasilkan pada masa itu,
seperti ilmu alam, matematika, kedokteran, astronomi, dan
sebagainya menjadi ilmu-ilmu yang dipelajari di seluruh dunia
dan masyarakat dunia belajar tentang ilmu-ilmu itu dari kaum
muslimin.
Mayoritas motif yang melatarbelakangi kaum muslimin generasi
pertama untuk menggeluti dan mengembangkan ilmu-ilmu tadi
adalah motif agama. Apakah Anda mengetahui mengapa
al Khawarizmi menciptakan ilmu al jabar ? Ia menelurkan ilmu
itu untuk menyelesaikan masalah-masalah tertentu dalam bidang
wasiat dan warisan. Tentang warisan, juga wasiat, sebagian
darinya memerlukan hitung-hitungan matematika. Oleh karena
itu, al Khawarizmi menulis bukunya yang berbicara tentang ilmu
al jabar dalam dua juz, juz pertama tentang wasiat dan
warisan, juz kedua tentang al jabar.
Saat Dr. Musa Ahmad dan kelompoknya mentahqiq kitab
al Khawarizmi itu, mereka memberikan anotasi-anotasi pada juz
yang berbicara tentang al jabar, sedangkan pada juz yang
berbicara tentang wasiat dan warisan, mereka berkata, Kami
tidak memahaminya dan kami tidak mengerti sedikit pun apa yang
tertulis di dalamnya. " Pada masa generasi pertama Islam, ilmu
pengetahuan berkaitan erat dengan agama. Tidak ada dikotomi
(pembagian/pencabangan) diantara keduanya.[37]
Para ilmuan dan dokter saat itu juga berstatus ulama dalam
bidang agama. Ibnu Rusyd, pengarang kitab al Kulliyyat dalam
bidang kedokteran, adalah juga seorang qadhi, pengarang kitab
Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul (Muqtashid dalam bidang
fiqih). Kitab itu merupakan kitab fiqih komparatif yang paling
baik.
Yang aku ingin tekankan adalah, kaum muslimin pada masa
keemasan Islam, dalam bidang agama, mereka semata berpegang
pada nash dan Sunnah, sedangkan dalam bidang-bidang kehidupan,
mereka berkreasi, menciptakan hal-hal baru, dan mengembangkan
ilmu pengetahuan dan penemuan yang telah ada. Sementara, pada
masa kemunduran Islam, yang terjadi adalah sebaliknya. Orang
banyak sekali menciptakan hal-hal baru dalam bidang agama,
sementara beku dan statis dalam bidang-bidang keduniaan.
Mereka (kaum muslimin era kemunduran Islam) berkata,
" Generasi pertama Islam sama sekali tidak memberikan
kesempatan kepada generasi berikutnya untuk menciptakan hal-
hal baru dan kita sama sekali tidak dapat melakukan seperti
apa yang mereka telah perbuat." sehingga, kehidupan umat Islam
menjadi beku dan statis, seperti air yang terjebak tak
bergerak dan berubah menjadi busuk. Dengan demikian,
pengingkaran perbuatan bid'ah dalam bidang agama bermakna
menyiapkan energi manusia untuk berkreasi dan mengembangkan
urusan-urusan keduniaan.

6@ BID'AH DALAM AGAMA MEMECAH BELAH DAN MENGHANCURKAN
PERSATUAN UMAT...

Yang keenam adalah berpegang teguh pada Sunnah akan menyatukan
umat sehingga membuat mereka menjadi satu barisan yang kokoh
di bawah bimbingan kebenaran yang telah diajarkan oleh Nabi
saw.. Karena, Sunnah hanya satu, sedangkan bid'ah tidak
terbilang banyaknya. Kebenaran hanya satu, sedangkan kebatilan
beragam warna dan bentuknya. Jalan Allah SWT hanya satu,
sedangkan jalan-jalan setan amat banyak. Dalam hadits riwayat
Ibnu Mas'ud r.a.,[38] ia berkata, " Suatu hari, Rasulullah
saw. membuat garis lurus di hadapan kami,[39] kemudian beliau
bersabda, " Ini adalah jalan Allah." Setelah itu, beliau
menggaris beberapa garis di samping kiri dan samping kanan
garis yang pertama tadi, dan bersabda, " Jalan-jalan ini
(adalah selain jalan Allah), masing-masing didukung oleh setan
yang menggoda manusia untuk mengikuti jalan itu." selanjutnya,
beliau membaca ayat, " Dan, bahwa (yang Kami perintahkan) ini
adalah jalanKu yang lurus, maka ikutilah dia...."
(Surah Al An'aam:153)
Oleh karena itu, saat umat secara konsekuen mengikuti Sunnah
maka saat itu mereka bersatu padu. Sementara, saat timbul
beragam sekte dan mazhab maka umat terpecah menjadi lebih dari
tujuh puluh golongan. Bahkan, masing-masing golongan itu pada
gilirannya kembali terpecah menjadi kelompok-kelompok kecil.
Dan, masing-masing golongan dan kelompok itu meyakini bahwa
mereka sajalah penganut agama Islam yang sebenarnya.
Selanjutnya, masing-masing golongan itu menciptakan bid'ah
tersendiri yang demikian banyak.
Sebagian bid'ah itu dalam bidang akidah hingga kadang-kadang
ada yang sampai kepada kekafiran, seperti golongan yang
mengingkari ilmu Allah SWT dan berkata, " Hal ini adalah
sesuatu yang baru sama sekali." Maksud ucapan mereka itu
adalah Allah SWT tidak mengetahui hal itu sebelumnya. Mereka
itulah yang dikecam dengan keras oleh Ibnu Umar dan ia pernah
berkata tentang mereka, " Sekalipun mereka melakukan amal
kebaikan sebesar Gunung Uhud, (namun karena perkataan dan
sikap mereka tadi), niscaya Allah SWT tidak menerima amal
perbuatan mereka itu."
Juga ada kelompok yang menganut antropomorfisme yang
menyerupakan wujud Allah SWT dengan makhlukNya, mereka
terkenal sebagai kelompok Musyabbihah dan Mujassimah.
Di antara mereka ada yang mengingkari kodrat Allah SWT,
meskipun mereka tidak mengingkari ilmuNya. Di antara mereka
ada yang mengkafirkan kaum muslimin dan menghalalkan darah
mereka, seperti kalangan Khawarij, meskipun ketekunan ibadah
mereka amat mengagumkan dan meskipun dalam hadits Nabi saw.
pernah diungkapkan tentang mereka, " Dan kalian ada yang
melihat shalatnya lebih sederhana dari shalat mereka,
qiyamullailnya lebih sederhana dari qiyamullail mereka, dan
bacaannya lebih sederhana dari bacaan mereka."
Setelah itu, timbul kalangan tasawuf yang sebagian mereka
mengungkapkan hal-hal yang sama sekali tidak dilandasi
syariat, seperti berpedoman hanya kepada dzauq 'rasa' dan
intuisi, bukan kepada syariat. Menurut mereka, orang tidak
perlu berpegang pada apa yang difirmankan oleh Rabbnya, namun
yang terpenting adalah berpedoman pada apa yang dikatakan oleh
hatinya. Salah seorang dari mereka dengan bangga berkata,
" Hatiku berkata kepadaku berdasarkan informasi dari Tuhanku."
Karena, ia mengambil informasi langsung dari " atas". Oleh
karena itu, saat dikatakan kepada salah seorang dari mereka,
" Marilah kita membaca kitab Mushannaf Abdurrazzaq," Ia
menjawab, " Apa manfaatnya karya Abdurrazzaq itu bagi orang
yang mengambil ilmunya langsung dari sang Khaliq ?" Maksudnya,
ia mengambil ilmunya langsung dari Allah SWT, tanpa melalui
perantara !
Dari mereka ada yang berkata, " Kalian mengambil ilmu kalian
dari orang yang telah mati yang mendapatkannya dari orang yang
telah mati pula, sementara kami mengambil ilmu kami dari Zat
Yang Maha Hidup, Yang tidak mati !" Malik dari Nafi dari Ibnu
Umar, mereka semua telah mati, mata rantai riwayat emas ini
(seperti dinamakan oleh para ahli hadits) bagi kalangan
tasawuf dipandang sebagi mata rantai karatan yang tidak
bermanfaat sama sekali.
Diantara istilah yang dikembangkan oleh mereka adalah hakikat
dan syariat. Kalangan ahli syariat melihat dan memperhatikan
sisi yang zahir, sedangkan kalangan ahli hakikat melihat dan
memperhatikan sisi batin. Oleh karena itu, mereka berkata,
" Orang yang melihat manusia dengan mata syariat, niscaya ia
akan membenci mereka, sedangkan orang yang melihat manusia
dengan mata hakikat, niscaya ia akan memberikan uzur (sikap
memaklumi) kepada mereka."
Orang yang berzina, bermabuk-mabukan, pembuat kezaliman, dan
kediktatoran, yang menyiksa manusia dan membunuh ratusan,
bahkan ribuan orang, serta yang menghancurkan kampung-kampung
dan kota-kota, mereka itu, jika Anda lihat mereka dengan mata
syariat niscaya Anda akan membenci mereka karena syariat
membenci kemungkaran, kezaliman, dan para pelakunya. Namun,
jika Anda memandang mereka dengan mata hakikat, niscaya Anda
akan memberikan uzur kepada mereka. Karena, meskipun mereka
tidak menjalankan perintah Allah SWT, namun pada hakikatnya
mereka menjalankan iradah 'kehendak' Allah SWT karena Allah
SWTlah yang menghendaki semua hal itu. Allah SWT menggerakkan
manusia sesuai dengan kehendakNya, lantas apakah Anda ingin
turut campur dalam kekuasaan Allah SWT? Biarkanlah kekuasaan
berjalan di tangan raja, sementara manusia yang lain,
biarkanlah mereka hidup sesuai dengan kehendak sang Khalik.
Dengan begitu, tumbuh suburlah sikap pasif dalam menghadapi
kerusakan dan penindasan, demikian juga dalam dunia
pendidikan. Hingga dalam bidang yang terakhir ini, tasawuf
mencabut kepribadian manusia, yaitu seperti postulat tasawuf
"sikap seorang murid di hadapan syekhnya adalah seperti sikap
mayat di tangan orang yang memandikannya", Siapa yang bertanya
kepada syekhnya, " Mengapa ?" Maka, sang murid itu tidak akan
'sampai' ke tujuannya, dan seterusnya.
Kemudian berapa banyak tarekat yang telah timbul di kolong
langit ini ? Jika umat Islam kita biarkan mengikuti dan
menjalankan praktek bid'ah, niscaya mereka tidak akan bersatu
dalam satu shaf. Umat Islam hanya dapat bersatu jika mereka
berdiri di belakang Rasulullah saw. dan mengikuti kitab Allah
yang muhkam dan Sunnah RasulNya. Setelah mereka bersikap
seperti itu, tidak menjadi masalah jika mereka kemudian
berbeda pendapat dalam masalah-masalah furu' (cabang).
Perbedaan pendapat dalam bidang furu' ini tidak merusak
ukhuwah, juga tidak menghalangi persatuan Islam. Para sahabat
sendiri banyak berbeda pendapat dalam masalah furu'[40], namun
mereka tetap bersaudara, dan tetap sebagai kaum muslimin.

MENGINGKARI BID'AH DAN MEMERANGINYA ADALAH LANGKAH UNTUK
MEMELIHARA KEMURNIAN ISLAM...

Karena semua hal tadi maka mengingkari bid'ah dan perbuatan
bid'ah adalah tindakan yang dapat menjaga kemurnian Islam
hingga saat ini sehingga Islam tidak mengalami distorsi dan
adisi seperti yang dialami oleh agama-agama yang lain.
Benar di kalangan kaum muslimin terjadi banyak perbuatan
bid'ah dan pihak-pihak yang menciptakan bid'ah, yaitu orang-
orang jahil yang tidak mempunyai ilmu agama dan memberikan
pengajaran agama dengan tanpa ilmu sehingga mereka sesat dan
menyesatkan, namun di sepanjang masa selalu timbul tokoh
di kalangan umat Islam yang memperbarui agama mereka.[41]
Selalu ada tokoh-tokoh yang menghidupkan Sunnah dan mematikan
bid'ah.[42] Sehingga, setidaknya, Sunnah Rasulullah saw. tetap
dapat diketahui dengan jelas dan umat ini tidak sampai
bersepakat dalam kesesatan;[43] atau mengakui bid'ah, atau
perbuatan bid'ah itu berubah menjadi bagian agama Islam.
Pengingkaran bid'ah itulah yang menjaga rukun-rukun pokok
Islam. Bilangan kewajiban shalat tetap terjaga sebanyak lima
waktu hingga saat ini, berikut ketentuan waktu dan aturan
pelaksanaannya. Pelaksanaan ibadah puasa tidak dipindahkan
dari bulan Ramadhan, tidak seperti yang dilakukan oleh Ahli
Kitab yang memindahkan waktu pelaksanaan puasa mereka. Dan,
waktunya pun tetap dari fajar hingga tenggelamnya matahari.
Tata laksana ibadah haji juga tetap seperti itu. Demikian juga
aturan zakat tetap seperti sediakala. Pokok-pokok utama Islam
tetap terjaga keautentikannya, meskipun telah terjadi banyak
bid'ah dan beragam penyimpangan pemikiran di sepanjang masa.
Yang menjaga semua hal tadi adalah prinsip ini, yaitu bid'ah
merupakan perbuatan yang tertolak dalam pandangan Islam.
Dengan demikian, Islam adalah agama yang agung dan logis,
sesuai dengan alur postulat logika yang benar. Lantas, setelah
agama ini melewati masa empat belas abad, jika kita menemukan
seseorang menulis sebuah artikel dan berkata, " Mengingkari
bid'ah dan membenci sesuatu yang baru, apakah sikap islami
atau sikap jahiliah ?" Apa yang kita akan katakan kepada ora ng
itu ?
Perhatikanlah taktik pengelabuan dalam penulisan judul artikel
itu. Di situ, kata "pengingkaran bid'ah" disejajarkan dan
disandingkan dengan "membenci hal-hal baru", Subhanallah !
Padahal, siapa yang pernah berkata bahwa mengingkari bid'ah
berarti membenci segala hal yang baru ? Kaum muslimin, baik
itu kalangan pengikut Sunnah maupun pembuat bid'ah, semuanya
mempergunakan hal-hal baru. Bahkan, orang-orang yang amat
mengikuti Sunnah, mereka mengendarai mobil, mempergunakan
telepon, berbicara dengan mikropon, menaiki pesawat, dan
sebagainya. Namun, tidak ada yang mengatakan bahwa menaiki
pesawat dan sebagainya itu adalah bid'ah dan kita harus
mengendarai unta, seperti yang dilakukan oleh Nabi saw..
Lantas, apa makna redaksi "mengingkari bid'ah dan membenci
hal-hal baru, apakah sikap islami atau jahiliah ?" Itu adalah
sebuah taktik pengelabuan yang vulgar, yang menjadi tertawaan
orang. Orang yang menulis artikel itu secara implisit berkata
bahwa Islam itu sendiri adalah suatu bid'ah terhadap
kejahiliahan. Maka, jika kita mengikuti alur logika ini (atau
pengingkaran terhadap bid'ah) maka kita juga harus mengingkari
Islam, sebagaimana orang-orang jahiliah mengingkari Islam.
Karena, bagi orang-orang jahiliah itu, Islam adalah sesuatu
yang baru.
Subhanallah ! Kejahiliahan itu sendiri sebenarnya suatu
bid'ah, yaitu bid'ah yang diperbuat oleh orang-orang jahiliah
terhadap agama. Mereka menyelewengkan agama yang dibawa oleh
Nabi Ibrahim a.s. dengan bid'ah-bid'ah yang mereka ciptakan
itu. Karena, agama Nabi Ibrahim a.s. pada dasarnya adalah
agama yang hanif, "Ibrahim bukan seorang Yahudi dan bukan
(pula) seorang Nasrani, akan tetapi dia adalah seorang yang
lurus (hanif) lagi berserah diri (kepada Allah) dan sekali-
kali bukanlah dia termasuk golongan orang-orang musyrik."
(Surah Ali Imran: 67)
Namun, orang-orang jahiliah kemudian menambahkan bid'ah-bid'ah
baru dalam agama yang diajarkan oleh Nabi Ibrahim a.s.. Tentu
saja bid'ah yang mereka ciptakan itu ditujukan untuk berlebih-
lebihan dalam beribadah. Saat mereka menyembah berhala, apa
tujuan mereka menyembah berhala-berhala itu ? Mereka berkata,
" ..Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka
mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya."
(Surah Az Zumar: 3)
Orang-orang jahiliah yang menambahkan praktek-praktek baru
dalam pelaksanaan ibadah haji (diantaranya berthawaf dengan
bertelanjang tanpa pakaian sehelaipun), maka mengapa mereka
melakukan hal itu ? " Kami tidak boleh berthawaf dengan
memakai pakaian kami karena kami telah melakukan maksiat
kepada Allah SWT saat mengenakan pakaian itu." Oleh karena
itu, merekapun kemudian berthawaf dengan bertelanjang bulat.
Keburukan dan kebobrokan jahiliah, pada dasarnya diciptakan
oleh praktek perbuatan bid'ah dalam agama yang diturunkan
oleh Allah SWT melalui kitab-kitab suciNya dan para rasulNya
yang memberikan berita gembira dan ancaman. Kemudian, Islam
pada hakikatnya adalah suatu gerakan kembali ke asal, yaitu
ke agama fitrah yang difitrahkan oleh Allah SWT bagi seluruh
manusia. Ia adalah agama yang diserukan oleh Ibrahim a.s.,
" Dan, siapakah yang lebih baik agamanya daripada orang yang
ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia pun
mengerjakan kebaikan, dan ia mengikuti agama Ibrahim yang
lurus ?" (Surah An Nisaa':125)
Sebenarnya, seluruh redaksi yang ditulis oleh penulis artikel
itu hanyalah berisi kesalahan-kesalahan semata. Namun
demikian, saya ingin membicarakan masalah ini hingga tuntas
sehingga kita dapat menangkap pemahaman yang jelas dan benar
tentang sunnah dan bid'ah.

BEBERAPA PENYIMPANGAN YANG DILAKUKAN OLEH PENULIS ARTIKEL...

Pada bagian ini, saya akan mengungkapkan sebagian substansi
yang ditulis oleh penulis artikel itu yang diterbitkan oleh
majalah " Ad Doha".
Dalam artikel itu, ia menolak banyak hadits Nabi saw. hingga
hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim sekalipun.
Misalnya, ia menolak hadits, " Jauhilah perkara perkara bid'ah
karena seluruh perbuatan bid'ah adalah sesat." Juga hadits,
" Kalian akan mengikuti perilaku umat-umat sebelum kalian satu
jengkal demi satu jengkal dan satu hasta demi satu hasta,
hingga sekiranya mereka masuk ke lubang biawak sekalipun
kalian akan memasuki lubang yang sama itu, atau kalian
mengikuti tindakan mereka itu."
Ia (penulis artikel itu) mengklaim bahwa hadits-hadits tadi
bertentangan dengan Al Qur'an. Mengapa ia berkata demikian ?
Dan, bagaimana mungkin hadits-hadits seperti itu bertentangan
dengan Al Qur an ?
Ibnu Taimiyah telah mengarang kitab tentang masalah ini yang
ia beri judul Iqtidha Shiraath al Mitstaqiim Mukhalafatu
Ahlil Jahiim 'Meniti Jalan Lurus Adalah Meninggalkan Praktek
Orang-Orang Penghuni Neraka'. Jalan lurus itu adalah
shiraathal mustaqiim yang kita selalu pinta kepada Allah SWT
agar kita ditunjukkan kepada jalan itu, minimal sebanyak tujuh
belas kali sehari, Yaitu dengan membaca surah al Faatihah,
" Tunjukilah kami jalan yang lurus," (Surah Al Faatihah: 6)
Ini mengharuskan kita untuk menentang dan meninggalkan praktek
orang-orang penghuni neraka yang disebut dalam firman Allah
SWT, " (Yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan
nikmat kepada mereka, bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan
bukan (pula jalan) mereka yang sesat." (Surah Al Faatihah: 7)
Para penghuni neraka adalah orang-orang yang dimurkai Allah
SWT dan orang-orang yang sesat. Kita mempunyai jalan
tersendiri dan mereka mempunyai jalan-jalan lain. Dalam salah
satu hadits disinyalir, " Kalangan yang dimurkai Allah itu
adalah umat Yahudi dan kalangan yang sesat itu adalah umat
Nasrani."
Jalan kita berbeda dengan jalan-jalan mereka. Al Qur'an telah
menetapkan bagi kita jalan yang berbeda dengan jalan-jalan
mereka itu. Al Qur'an telah melarang kita dalam banyak
ayatnya, menjadi seperti mereka atau melakukan pola hidup dan
perilaku seperti mereka. Allah SWT berfirman, " Dan, janganlah
kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih
sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka.... "
(Surah Ali Imran: 105)
Masih banyak lagi ayat lain, demikian juga hadits-hadits Nabi
saw. yang berbicara tentang hal itu, yang keseluruhannya
memberikan pernyataan dengan yakin bahwa umat ini mempunyai
karakteristik yang istimewa dan khas dan ia tidak boleh
mengekor kepada umat-umat lain. Dari kenyataan itu, dalam
banyak hadits disabdakan pernyataan khalifuuhum 'bersikap dan
berlakulah yang berbeda dengan mereka'. Dan, sabda itu diulang
berkali-kali dalam banyak kesempatan.
Independensi kepribadian dan keistimewaan umat Islam tumbuh
dari ini, baik dalam penampilan (mazhhar) maupun dalam ilmu
pengetahuan (makhbar). Oleh karena itu, kita tidak dibenarkan
mengikuti pola kehidupan dan pola perilaku mereka yang
menyebabkan kita sama seperti mereka.
Kita harus memiliki kepribadian sendiri karena umat Islam
adaiah umat wasath 'pertengahan' yang menjadi saksi bagi
seluruh umat manusia. Kita menempati kedudukan sebagai
"profesor agung" bagi seluruh umat manusia. Kita adalah umat
terbaik yang pernah ada di muka bumi. Lantas, mengapa kita
harus mengikuti umat lain ?
Rasulullah saw. ingin menanamkan kesadaran akan kemuliaan,
keistimewaan, dan independensi kepribadian ini dalam diri
kita, dan beliau tidak menginginkan kita menjadi pengekor dan
pengikut umat lain. Oleh karena itu, Rasulullah saw.
menyabdakan hadits berikut ini yang meskipun disampaikan dalam
bentuk berita, namun ia secara implisit mengandung makna
peringatan, " Kalian akan mengikuti perilaku umat-umat sebelum
kalian, satu jengkal demi satu jengkal dan satu hasta demi
satu hasta, hingga sekiranya mereka masuk ke lubang biawak
sekalipun, kalian akan memasuki lubang yang sama itu."
Yang dimaksud dengan lubang biawak dalam hadits itu adalah
yang kita kenal sekarang ini dengan nama "trend dan mode".
Atau, bisa kita namakan dengan "mode lubang biawak". Jika
mereka (non muslim, terutama Barat) memanjangkan kuncir
mereka, para pemuda kita pun memanjangkan kuncir mereka. Jika
mereka menjadi 'yuppies' dan 'hippies', pemuda kita pun turut
menjadi yuppies dan hippies. Ke mana larinya kepribadian
istimewa kita yang independen itu ? Apakah ada orang yang rela
meninggalkan agama dan kepribadian Islamnya untuk kemudian
mengikuti kesesatan umat lain ?
Kemudian, mengapa ada orang yang mensinyalir bahwa hadits ini
bertentangan dengan Al Qur'an ?
Saat Rasulullah saw. ditanya, " Siapakah yang dimaksud dengan
'mereka' itu ? Apakah orang Yahudi dan Nasrani ?" Beliau
menjawab, " Siapa lagi kalau bukan mereka ?"
Bukankah amat disayangkan jika saat ini " guru" kita adalah
orang-orang Yahudi dan Nasrani ? Kita dengan sukarela
menjalankan poin-poin yang ditulis dalam " Protokol-Protokol
Pemimpin Zionis", baik protokol-protokol itu benar milik
mereka maupun bukan. Apa yang mereka kehendaki, secara sadar
atau tidak, kita telah jalankan dengan tekun sehingga kita
menjadi permainan mereka.
Penulis artikel itu mencela dan mengingkari kaum muslimin yang
ingin kembali mengikuti jalan Nabi saw., para sahabat, dan
cara kehidupan mereka. Aneh sekali sikap sang penulis artikel
itu. Apakah keinginan untuk mengikuti Nabi saw. dan para
sahabat beliau dalam pola kehidupan mereka patut dicela dan
diingkari ? Kita mengikuti manhaj Nabi saw. dan para sahabat
beliau dalam memahami dan menjalankan agama dengan baik,
menjaga pokok-pokok agama itu, memperhatikan substansinya, dan
memperhatikan masalah-masalah kehidupan serta melakukan
pengembangan dalam kehidupan. Inilah yang kita maksud dengan
mengikuti Nabi saw. dan para sahabat beliau itu.
Kemudian, penulis artikel itu berkata, " Aku menemukan
di antara sekian hadits, ada hadits yang mensinyalir bahwa
ulama adalah pewaris para nabi. Aku memahami dari hadits itu
bahwa orang yang mewarisi peninggalan mempunyai kewajiban
moral yang mengharuskan dirinya untuk memelihara warisan itu
dan mengembangkannya. Oleh karena itu, para pewaris nabi-nabi
mempunyai kewajiban untuk memelihara warisan ruhani yang
ditinggalkan oleh para nabi dan mereka juga berkewajiban untuk
mengembangkan warisan yang mereka terima itu. Seperti halnya
seseorang yang mewarisi toko, ia berhak bahkan berkewajiban
untuk mengembangkan toko itu dan menambahkan barang-barang
dagangannya, mengganti barang dagangannya yang sudah
kadaluwarsa atau yang sudah tidak laku lagi, sesuai dengan
tuntutan kebutuhan konsumen. Demikian juga halnya yang harus
dilakukan oleh para pewaris nabi terhadap warisan yang mereka
terima itu."
Artinya, menurut penulis artikel itu, para ulama harus
menambahkan ajaran agama, mengembangkan, meluaskan, dan
menyisipkan hal-hal baru. Demi Allah, apakah hal ini dapat
diterima akal ? Apakah ucapan tadi logis dan dapat diterima ?
Yaitu, menganalogikan ajaran-ajaran agama dengan barang-barang
dagangan yang diperjualbelikan di toko !!!
Selanjutnya ia berkata, " Meskipun mayoritas ulama tidak
menyetujui pengembangan dan penambahan hal baru ke dalam
agama, mereka hanya menjalankan taklid buta dan sikap
'stagnan' yang batil. Dan, mereka menjustifikasikan ditutupnya
pintu ijtihad dengan kemuliaan dan kejayaan Islam pada era
pertamanya."
Subhanallah ! Penutupan pintu ijtihad itu sendiri adalah
bid'ah karena hal itu adalah suatu sikap dan perbuatan baru
dalam agama yang tidak diperintahkan oleh Rasulullah saw. dan
tidak dilakukan oleh para sahabat, namun hal itu baru terjadi
pada masa-masa kemudian. Tidak ada seorang pun yang memiliki
otoritas untuk menutup pintu ijtihad yang telah dibuka oleh
Allah SWT dan Rasulullah saw.
Perkara-perkara dunia dapat ditambah dan dikembangkan,
sedangkan perkara-perkara agama tidak boleh ditambah atau
dikurangi. Karena hal itu, seperti telah kami katakan, adalah
suatu tindakan mengkritik Allah SWT dan menuduh agama ini
tidak lengkap, dan sebagainya.
Dengan demikian, apakah makna peluasan agama itu ? Karena,
sesuatu yang sudah sempurna sesungguhnya tidak lagi dapat
ditambah. Firman Allah SWT, " . . Pada hari ini telah
Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan
kepadamu nikmatKu, dan telah Kuridhai Islam itu jadi agama
bagimu..." (Surah Al Maa'idah: 3)

--------------------------------------------------------------
Catatan Kaki:
[1] Maksudnya di Qathar,penj.
[2] Penjelasan lebih terperinci tentang hal ini dapat dibaca
pada buku karya Dr. Yusuf al Qardhawi, al Madkhal li Dirasat
As Sunnah an Nabawiyyah (Kairo: Maktabah wahbah), hlm. 7-13.

[3] Redaksi hadits di atas merupakan bagian dari hadits yang
diriwayatkan oleh Muslim, an Nasa'i, Ibnu Majah, dan Tirmidzi
dengan periwayatan secara ringkas. Lihat karya Dr. Yusuf
al Qardhawi, al Muntaqa min Kitab at Targhib tva Tarhib,
1/115, hadits 41. Dan, pengertian "barangsiapa membiasakan
(memulai atau menghidupkan) suatu perbuatan baik dalam
Islam" adalah selama masa hidupnya, bukan setelah kematiannya,
atau karena peran orang tua atau keturunan-keturunannya.

[4] Hadits diriwayatkan oleh Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Majah,
Ibnu Hibban dalam kitab shahihnya, dan Ahmad. Tirmidzi berkata
bahwa hadits ini hasan sahih. Lihat al Muntaqa min Kitab at
Targhib wa Tarhiib 1/ 110, hadits 24.
[5] Hadits diriwayatkan oleh Muslim dari Jabir r.a.. Lihat
karya an Nawawi, Riyadhush Shalihin, bab "an Nahyu'an al Bida'
wa Muhdatsaat al Umur".
[6] Hadits diriwayatkan oleh Ibnu Majah, al Hakim dalam al
Mustadrak dari jalan periwayatan Imam Ahmad, dan oleh Ibnu Abi
Ashim dengan sanad hasan dalam kitab as Sunnah, hadits no. 48,
dengan takhrij al Albani, dan ia mensahihkannya dengan
lanjutannya. Lihat kitab al Muntaqa min Kitab at Targhib wa
Tarhib, 1/114, hadits no. 39.

[7] Ia adalah Ibrahim bin Musa bin Muhammad al Lakhami al
Garnathi yang terkenal dengan asy Syathibi. Ia adalah seorang
ahli ushul fiqih dan hafizh hadits dari kalangan penduduk
Garnathah (Grenada, saat ini). Di samping itu, ia juga seorang
imam mazhab Maliki. wafat pada tahun 790 H/1388 M (lihat:
al A'laam, Zerekly, 10/75). Di antara karya-karyanya adalah
kitab al Muwafaqaat fi Ushul asy syari'ah, sebuah kitab yang
amat bagus yang ditulis dalam bidang itu. Juga kitab al
I'tishaam fi Bayaan assunnah wal Bid'ah. Kitab terakhir itu
juga kitab yang amat bagus yang ditulis dalam bidang itu.
Namun sayangnya, sampai saat ini manuskrip nash kitab itu
hanya ada satu buah, yang kemudian dicetak, di tashih, dan
diberikan anotasi oleh Imam Salafiah kontemporer, syeikh
Muhammad Rasyid Ridha r.a. pengasuh majalah al Manar dan
pengarang tafsir al Manar. Di dalam kitab itu terdapat banyak
kontradiksi antar kalimat, dan redaksi-redaksi yang tidak
jelas, namun karena manuskrip nash yang ada hanya satu buah
saja sehingga naskah itu tidak dapat dikomparasikan antara dua
naskah atau antara berbagai naskah manuskrip, untuk mencapai
bentuk redaksional yang sebaik-baiknya, seperti yang dilakukan
oleh para pentahqiq manuskrip-manuskrip lama. Sebagai
tambahan, asy Syathibi juga tidak menyelesaikan penulisan
kitab itu.
[8] Asy Syathibi, al I'tishaam (Beirut: Darul Ma'rifah), juz
1, hlm. 37.
[9] Hadits Muttafaq 'alaih dari hadits riwayat Aisyah r.a..
Lihat: Syarh Sunnah, karya al Baghawi, dengan tahqiq Zuhair
asy Syawisy dan Syu' aib al Arnauth, 1/211, hadits no: 103.
[10] Hadits diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim, Abu Daud, dan
Ibnu Majah. Lihat al Muntaqa min Kitab at Targhiib wa Tarhiib,
1/112, hadits no: 32.
[11] Potongan dari hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari,
Muslim, Abu Daud, Tirmidzi, dan Nasai, dari Umar bin Khaththab
r.a. Lihat al Muntaqa min Kitab at Targhiib wat Tarhiib,
1/102-103, hadits no: 3.
[12] Lebih jauh tentang hal ini dapat dibaca dalam buku
al Madkhal li Dirasat As Sunnah an Nabawiyyah, hlm. 24-32,
karya Dr. Yusuf al Qardhawi. Juga sebuah kuliah yang pernah
disampaikan olehnya di Fakultas syari'ah Universitas Qathar
tentang topik seputar "Sunnah Nabi dan Ragamnya". Di samping
itu, ia juga mempunyai dua tulisan yang berkaitan dengan topik
ini, yaitu al Janib at Tasyriri fi Sunnah an Nabawiyah yang
dipublikasikan oleh Markaz Sunnah dan Sirah dalam jurnal
tahunannya. Demikian juga bukunya as Sunnah Mashdaran lil
Ma'rifah wal Hadharah. (Buku terakhir telah diterjemahkan
ke dalam bahasa Indonesia oleh Abdul Hayyie al Kattani, dan
diterbitkan oleh Gema Insani Press, 1998].
[13] Dari Aisyah r.a., ia berkata, " Nabi saw. setiap kali
beliau usai melaksanakan shalat dua rakaat sebelum shubuh,
beliau berbaring pada sisi kanan beliau." Diriwayatkan oleh
Bukhari dalam kitab at Tahajjud, bab "adh Dhaj'ah 'ala
syaqqil Aiman Ba'da Rak'atai al Faji'.
[14] Diriwayatkan oleh Abdurrazzaq. Dalam mata rantai
periwayatannya terdapat seorang perawi yang namanya tidak
disebut dengan jelas. Lihat Fathul Bari, kitab at Tahajjud,
bab "Man Tahaddatsa Ba'da Rak'ataul wa lam Yadhthaji".
[15] Hadits Muttafaq 'alaih dari hadits Umar bin Abi salmah,
Syarh Sunnah karya al Baghawi, tahqiq asy Syawisy dan al
Amauth, 11 /275, hadits no. 2823.
[16] Hadits diriwayatkan oleh Muslim, Tirmidzi, dan Malik
serta Abu Dawud juga meriwayatkan hadits yang sama redaksinya
dari hadits Ibnu Umar. Lihat juga al Muntaqa min Kitab at
Targhib wa Tarhib, 2:598-599, hadits 1238.
[17] Muslim meriwayatkan dalam kitab Shahihnya dari Iyas bin
Salmah bin Akwa' bahwa ayahnya meriwayatkan kepadanya bahwa
seseorang makan bersama Rasulullah saw. sambil menggunakan
tangan kirinya. Kemudian, Rasulullah saw. memerintahkan orang
itu, " Makanlah dengan tangan kananmu." Ia menjawab, " Aku
tidak bisa." Rasulullah saw. kembali bersabda, " Engkau pasti
bisa." Yang menghalangi dirinya untuk makan dengan tangan
kanan hanyalah semata kesombongannya saja. sang periwayat
kembali berkata bahwa orang itu kemudian tidak lagi dapat
mengangkat tangannya ke mulutnya. Lihat Kitab al ASyribah, bab
"Adab ath Tha'am wa Syarab wa Ahkamuha".
[18] Oleh karena itu, Ibnu Umar r.a. dikenal sebagai sahabat
yang amat senang mengikuti segala tingkah laku Rasulullah saw.
karena ia amat senang mengikuti ucapan dan perbuatan beliau.
[19] Diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah dalam kitab Shahihnya
dan Baihaqi dalam Sunannya dari Zaid bin Aslam. Ia berkata,
" Aku melihat Ibnu Umar shalat dengan kancing baju yang
terbuka. Kemudian, aku bertanya kepadanya mengapa ia melakukan
hal itu, ia menjawab, " Karena aku pernah melihat Rasulullah
saw. melakukannya."
[20] Dari Mujahid, ia berkata, " Suatu saat kami berjalan
bersama Ibnu Umar r.a. dalam sebuah perjalanan. selanjutnya,
kami melewati suatu tempat. Tiba-tiba di tempat itu Ibnu Umar
menepi dari jalan. Saat ia ditanya, " Mengapa engkau melakukan
hal ini ?" Ia menjawab, " Karena aku pernah melihat Rasulullah
saw. melakukan hal itu maka aku pun melakukannya."
Diriwayatkan oleh Ahmad dan Bazzaar dengan sanad yang baik.
Haitsami berkata bahwa para perawinya dapat dipercaya, Lihat
al Muntaqa min Kitab at Targhib wa Tarhib, 1/112, hadits 31.
[21] Dari Ibnu Sirin, ia berkata, kami bersama Ibnu Umar r.a.
di Arafat. Saat ia istirahat, kami pun ikut istirahat
bersamanya. Hingga datang imam shalat, maka ia pun shalat
zhuhur dan ashar bersamanya. Kemudian aku dan sahabat-
sahabatku wukuf bersamanya hingga imam bergerak keluar dari
Arafah. Setelah itu, kami pun ikut bergerak. Hingga sampai
ke suatu tempat sebelum Ma'zamain. Di situ, Ibnu Umar
mengistirahatkan kendaraannya, maka kami pun mengikutinya.
Kami menyangka ia akan melaksanakan shalat. Namun pembantunya
yang menjaga kendaraannya mengatakan bahwa ia tidak hendak
melaksanakan shalat, namun ia mengatakan bahwa Nabi saw., saat
beliau sampai ke tempat itu, beliau melaksanakan hajatnya.
Oleh karena itu, Ibnu Umar pun ingin melaksanakan hajat juga
di tempat itu. Diriwayatkan oleh Ahmad, dan para perawinya
adalah para perawi yang dijadikan andalan dalam kitab-kitab
sahih. Atsar ini juga disebutkan oleh Al Hafizh al Manawi
dalam kitab At Targhiib wa at Tarhiib, fashal at Targhiib fi
ittiba' as sunnah. Lihat, al Madkhal li Dirasat as Sunnah an
Nabawiah, karya Dr. Yusuf al Qaradhawi, hal: 24-32.
[22] Asy Syathibi, al I'tisham (Beirut: Darul Ma'rifah), juz
1/36.
[23] Demikian juga halnya dengan Zaid bin Tsabit yang
diperintahkan oleh Abu Bakar untuk mengumpulkan catatan-
catatan ayat Al Qur an dan mengkompilasikannya. Namun, Abu
Bakar terus mendorong Zaid hingga Allah SWT melapangkan
dadanya, sebagaimana telah terjadi dengan Umar dan Abu Bakar
r.a..
[24] Asy Syathibi berkata bahwa Umar menamakannya seperti itu,
dengan melihatnya dari unsur luarnya, yaitu suatu perbuatan
yang tidak dilakukan oleh Rasulullah saw.. Juga tidak pernah
terjadi pada masa Abu Bakar r.a.. Namun, bid'ah yang
diucapkannya itu bukan bid'ah dengan pengertian terminologis.
Maka, siapa yang menamakan perbuatan tadi sebagai bid'ah,
dengan pengertian bid'ah seperti itu, maka tidak ada yang
perlu diperdebatkan dalam masalah istilah dan terminologi.
Lihat al I'tishaam, 1/195.
[25] Diriwayatkan oleh Bukhari dalam kitab Shalat Tarawih bab
"Fadhlu man Qaama Ramadhaan". Dan, lafal hadits tadi dikutip
darinya. Juga diriwayatkan oleh Malik dalam kitab al
Muwaththa, bab "Bad'u Qiyaam Layaali Ramadhaan"
[26] Aisyah r.a. berkata," Nabi saw. shalat (sunnah pada malam
bulan Ramadhan) di masjid, maka orang-orang kemudian mengikuti
shalat beliau itu. Pada malam kedua, beliau kembali shalat,
dan kali ini para jamaah semakin bertambah banyak. Setelah
itu, pada malam ketiga atau keempat, orang-orang berkumpul
di masjid, namun Nabi saw. tidak keluar dari rumah beliau.
Pada pagi harinya, Rasulullah saw. bersabda, " Aku melihat apa
yang kalian lakukan itu, dan yang menghalangi diriku untuk
keluar dan shalat (tarawih) bersama kalian adalah karena aku
takut jika shalat itu sampai diwajibkan atas kalian." hadits
Muttafaq 'afaih. Lihat karya asy syaukani, Nailul Authar,
3/61, Darul Fikr.
[27] Asy Syathibi berkata bahwa perhatikanlah, dalam hadits
ini (yakni hadits Aisyah tadi) ada indikasi yang menunjukkan
bahwa perbuatan itu adalah sunnah karena, dengan kenyataan
Rasulullah saw. melakukan qiyamullail Ramadhan (shalat sunnah
pada malam bulan Ramadhan) dengan berjamaah di masjid, pada
hari pertama dan kedua. Ini menunjukkan bahwa perbuatan itu
sah dan boleh dilaksanakan. Sementara, dengan tidak keluarnya
Rasulullah saw (pada malam ketiga atau keempat) itu karena
mengkhawatirkan jika shalat qiyamullail Ramadhan diwajibkan
bagi umat Islam, hal itu sama sekali tidak menunjukkan
pelarangan perbuatan itu. Karena, masa ini adalah masa
turunnya wahyu dan syariat sehingga bisa saja jika perbuatan
itu kemudian diwajibkan bagi umat Islam. Oleh karena itu,
ketika illat syariat itu telah hilang dengan wafatnya
Rasulullah saw., maka kembalilah hukum masalah itu kepada
hukum asalnya. Dengan demikian, perbuatan ini secara jelas
dibolehkan dan tidak ada penasakhan (penghapusan hukum)
baginya. Lihat al I'tishaam, 1/194.
[28] Syekh Islam Ibnu Taimiyah telah menulis redaksinya yang
amat bagus, yang mengcounter orang yang menganggap baik
perbuatan bid'ah, seperti yang beliau tulis dalam kitabnya
" Iqtidha shiiraathal Mustaqim, Mukhalafatu Ashhabu al Jahim",
(Beirut: Darul Ma'rifah), him. 270 dan seterusnya. Silakan
dibaca kitab itu.
[29] Pendapat mereka ini telah dibahas dan didiskusikan oleh
Imam asy Syathibi secara mendetail. Pada akhirnya, ia
berkesimpulan bahwa pembagian bid'ah seperti ini adalah suatu
perbuatan mengada-ada yang sama sekali tidak didukung oleh
syariat. Bahkan, ia bersifat kontradiktif dalam dirinya
sendiri. Karena, hakikat suatu bid'ah adalah sesuatu yang sama
sekali tidak mempunyai dalil, baik dari nash syariat maupun
dari kaidah-kaidahnya. Seandainya di dalam syariat ada sesuatu
dalil yang menunjukkan kewajiban, sunnah, atau bolehnya
sesuatu (perbuatan bid'ah) itu, niscaya tidak ada bid'ah dan
niscaya perbuatan itu masuk dalam kelompok perbuatan-perbuatan
yang harus dikerjakan atau diberi kesempatan untuk dikerjakan.
Lihat al I'tishaam, (Beirut: Darul Ma'rifah), 1/188-211.
[30] Ini merupakan bagian dari hadits yang diriwayatkan oleh
Ahmad, Tirmidzi, dan Ibnu Jarir dari beberapa jalan
periwayatan dari Adi bin Hatim. Lihat dalam Tafsir Ibnu
Katsir, (Istanbul: Dar Dakwah), 2/328
[31] Asy Syathibi menyebut hal ini dalam kitabnya, al
I'tisham,l /49.
[32] Diriwayatkan oleh Bukhari dari Abu Hurairah r.a.. Nash
lengkapnya adalah sebagai berikut, " Pada suatu hari, seorang
arab badwi kencing di masjid. Melihat hal itu, beberapa orang
langsung berdiri untuk mengejarnya. Namun, Rasulullah saw.
segera bersabda, Biarkanlah dia dan tuangkanlah di bekas
kencingnya sesiraman atas seember air. Karena, kalian semata
diutus untuk memberikan kemudahan, bukan untuk memberikan
kesulitan." ( Riyadhush Shalihin, an Nawawi, bab "al Hilm,
wal Inat war Rifq)
[33] Hadits Muttafaq 'alaih, dari hadits Ka'ab bin Ajrah.
Syarh Sunnah III Baghawi, tahqiq asy Syawisy dan al Amauth,
3/190, hadits 681.
[34] Hadits diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Hurairah dalam
adz Dzikr wa Du'a, 2720.
[35] Tentang hal ini, lihat fatwa Dr. Yusuf al Qardhawi
berkenaan tentang doa-doa wudhu yang ma'tsur dan yang tidak
ma'tsur, dalam bukunya, Fatwa-Fatwa Kontemporer, juz I, him.
213-214.
[36] Yaitu mimpi Abdullah bin Zaid, seperti terdapat dalam
hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud dan disahihkan
oleh Tirmidzi dan Ibnu Khuzaimah. Lihat Subulus Salam, ash
shan'ani, bab "al Adzaan".
[37] Bahkan dikotomi (pembagian/pencabangan) antara ilmu
pengetahuan agama dan ilmu pengetahuan umum itu sendiri adalah
bid'ah yang sebelumnya sama sekali tidak ada dalam wacana
keilmuan Islam. Karena, Islam tidak bersifat terpisah dari
dunia. Penjelasan lebih mendalam tentang hal ini dapat dilihat
pada subjudul "al Fisham an Nakd", dari buku al Mustaqbal Li
Hadza Din, karya asy Syahid Sayyid Quthb.
[38] Sanadnya hasan, diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam kitab
Al Musnad, juga Ath Thabari, Al Hakim, ia juga mensahihkannya,
dan disetujui oleh Adz Dzahabi. Lihat, Syarh as Sunnah, al
Baghawi, tahqiq, Asy Syawisy dan al Arnauth:l/196-197, hadits
97.
[39] Rasulullah saw. mengajarkan sahabatnya dengan alat
peraga, dan salah satu alat peraga yang biasa dipergunakan
untuk mereka adalah pasir.
[40] Bahkan, Khalifah Umar bin Abdul Aziz berkata, " Aku tidak
bergembira jika seluruh sahabat Rasulallah saw. tidak berbeda
pendapat sama sekali. Karena jika mereka tidak berbeda
pendapat sama sekali niscaya kita tidak mungkin mendapatkan
rukhshah (keringanan)."
[41] Dari Abu Hurairah r.a. ia meriwayatkan bahwa Rasulullah
saw. bersabda, " Allah akan mengutus bagi umat ini pada setiap
awal seratus tahun seseorang yang akan memperbarui agamanya."
Diriwayatkan oleh Abu Dawud, al Hakim, al Baihaqi dan
selainnya, serta disahihkan oleh al Iraqi dan as Suyuthi.
Yang dimaksud dengan pembaruan agama, seperti disinyalir dalam
hadits itu, adalah pembaruan pemahaman terhadapnya, serta
keimanan dan beramal dengannya. Dr. Yusuf Qardhawi telah
menjelaskan panjang lebar tentang hadits ini dalam bukunya min
Ajli Shahwahtin Raasyidah, Tujaddiduddiin wa Tanhadhu bid
Dunya, hlm. 936, al Maktab al Islami, Beirut, diterjemahkan
ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Membangun Masyarakat
Baru, Gema Insani Press, 1997.
[42] Ibnu Jarir, Tammam dalam Fawa'idnya, Ibnu Adi dan lainnya
meriwayatkan dari Nabi saw. hadits, " Ilmu ini akan dijunjung
oleh orang yang mencermati musuh kecenderungannya (pembuat
bid'ah). Ia akan melenyapkan penyelewengan orang-orang yang
melakukan kesesatan dalam agama, kecenderungan orang-orang
yang membuat kebatilan, dan takwil orang-orang bodoh." Lihat
syarahnya dalam al Madkhal li Dirasat as Sunnah an Nabawiyah,
Dr. Yusuf al Qardhawi, hlm. 95-98.
[43] Diriwayatkan dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah saw.
bersabda, " Allah SWT tidak akan mengumpulkan umatku (atau
umat Muhammad saw.) dalam kesesatan. " Tangan Allah bersama
jamaah. Siapa yang menyempal dari jamaah maka ia menyempal
ke dalam neraka." Diriwayatkan oleh Tirmidzi dan ia menilainya
sebagai hadits gharib, serta diriwayatkan oleh al Hakim dengan
redaksi sejenis. Lihat ash Shahwah al Islamiah, baina al
Ikhtilaf al Masyru' wa at Tafarruq al Madzmum, Dr. Yusuf al
Qardhawi, hlm. 25, Muassasah ar Risalah, Beirut.

No comments:

Post a Comment